Jawapos – Metropolis – Sabtu, 3 September 2011 |
Inspirasi
Tak banyak orang seperti Tubagus Muhammad Ismail. Ketika ditulis Jawa
Pos pada akhir 2009, statusnya masih tukang tebu keliling di kompleks
Griya Wage Asri, Taman, Sidoarjo. Rombong es tebu itu dikerumuni ibu-ibu muda ketika
melintas di kawasan Wage, Sidoarjo. Tawa riang dan canda mereka berbaur
dengan suara anak-anak yang berebut membeli. Susana itu hampir terjadi
tiap hari pukul 15.00-17.00.
Itulah rutinitas Tubagus Muhammad
Ismail menjajakan es tebunya di kawasan tersebut. Pria 39 tahun itu
berbeda dari penjual es tebu lain. Penampilannya rapi, bersih,
pakaian necis, dan wangi. Dengan tinggi badan sekitar 170 cm, kulit
putih, paras tampan, pria berdarah Banten-Sunda-Padang itu jauh dari mainstream penjual es tebu keliling.
Karena
itu, tak heran Ismail merupakan tukang tebu favorit -setidaknya- di
kawasan Wage. Seorang warga perumahan bahkan menjuluki Ismail sebagai
tukang tebu terganteng se-Asia Tenggara.
Ada cerita, pernah seorang ibu yang naik sepeda terjebur got gara-gara meleng melihat Ismail nggenjot rombong
tebunya. ”Tapi, saya tak tahu cerita persisnya seperti apa. Saya hanya
diberi tahu tetangga saya,” kata Ismail lalu tersenyum.
Pria ramah
itu tak hanya punya nilai lebih dari segi fisik, tapi juga idealisme.
Karena idealisme itulah dia memilih mundur dari pekerjaannya sebagai legal staff di sebuah perusahaan rokok besar di Surabaya. Padahal, di tempat tersebut, dia punya gaji cukup besar, Rp 10 juta per bulan.
Sementara hasil jualan es tebu keliling itu, paling banter
dia dapat Rp 1,5 juta per bulan. ”Ini pendapat saya pribadi, bukan
bermaksud memojokkan siapa-siapa,” katanya. ”Saya merasa bahwa rokok
adalah sesuatu yang mudharat-nya jauh lebih besar daripada
manfaatnya. Itulah yang membuat saya bimbang, saya bekerja di industri
yang seperti itu,” lanjut bapak satu anak tersebut. ”Makanya, saya lebih
bahagia sekarang, meski pendapatan pas-pasan. Kedamaian hati, itu yang
paling penting,” sambungnya.
Tubagus Ismail |
Ismail kemudian menuturkan kisahnya. ”Ketika kuliah, saya sudah bekerja di perusahaan advertising,
anak perusahaan rokok itu,” katanya. Itu terjadi pada 1991 saat
kuliahnya di Fakultas Hukum Untag memasuki tahap akhir. Setahun
kemudian, dia dipindahkan ke induknya, bagian legal department. ”Waktu pindah, saya belum lulus,” paparnya.
Ismail
baru lulus setahun kemudian. Kelulusan itu mendongkrak eselon dan
gajinya di perusahaan tersebut. Konditenya selalu baik. Pelan-pelan
gajinya naik. Karena tempatnya bekerja merupakan salah satu perusahaan
dengan rate gaji tertinggi di Surabaya, Ismail hidup berkecukupan.
Hidupnya mapan, tinggal di rumah tipe 45 di Griyo Wage Asri. ”Hingga saya resign pada 2007, gaji saya Rp 10 juta. Itu belum termasuk bonus dan tunjangan lain,” kenangnya. Meski
gajinya besar, dia selalu gelisah. Puncaknya terjadi pada 2005. ”Saya
merasa industri tempat saya bekerja tidak cocok dengan hati nurani
saya,” tuturnya. Rokok, bagi Ismail, adalah hal paling merugikan dalam
kehidupan. Terutama dari sudut pandang imannya.
Ismail memang
religius. ”Sejak kecil, orang tua saya selalu menekankan nilai-nilai
Islam yang kuat kepada saya,” paparnya. Ajaran itu terus terbawa hingga
sekarang. Karena itu, Ismail selalu berusaha ikut pengajian di mana pun.
”Untuk menambah ilmu,” tuturnya.
Hampir semua pengajian di Surabaya dan Sidoarjo pernah dia datangi. Bahkan, dia selalu menyempatkan ikut kuliah subuh di TVRI.
Tapi, dia mengaku tak ikut sebuah organisasi keagamaan apa pun. ”Saya
tak ikut PKS atau apa pun. Saya lebih suka begini saja,” katanya. Dalam
Islam, rokok dianggap makruh (sesuatu yang sebaiknya ditinggalkan).
Bahkan, sebagian ulama menilai haram. ”Itu yang memengaruhi pemikiran
saya,” katanya.
Apalagi, saudara sepengajian sering mengingatkan dia. Juga mengirim e-mail
berisi tulisan dan gambar tentang akibat merokok. ”Ngeri, ngeri, kalau
melihat gambarnya. Paru-paru yang hitam membusuk, orang yang kondisinya
sekarat, wahh… pokoknya mengerikan,” tuturnya. Satu pemikiran mulai menusuk dirinya. ”Masak sih saya
memberi makan anak dan istri dengan uang yang dihasilkan dari industri
yang merusak masyarakat,” katanya lalu buru-buru menambahkan bahwa itu
pendapatnya pribadi.
Sejak itu, kinerja Ismail melorot drastis.
Manajemen perusahaan melihat perubahan tersebut. Manajemen yang bijak
mengajak Ismail berbicara dari hati ke hati. Karena memang sudah
bimbang, Ismail memutuskan mundur dari perusahaan pada Juni 2007. ”Saya
akan merugikan perusahaan bila tidak bisa kerja maksimal. Karena
situasinya seperti itu, saya pikir inilah titik untuk hijrah. Saya
keluar secara baik-baik,” urainya.
Atas jasa-jasanya selama 16
tahun bekerja, perusahaan memberi pesangon Rp 400 juta. Selepas dari
perusahaan, Ismail melakukan apa saja yang halal untuk menyambung hidup.
Di antaranya, menjadi sales parfum tiruan. ”Saya menemukan dunia yang asyik. Ternyata, saya juga punya potensi di bidang marketing,” katanya dengan mata berbinar.
Untuk menambah penghasilan, Ismail berjualan es tebu. ”Saya bertemu pemilik Mr Tebu dan saya membeli franchise-nya seharga Rp 10 juta. Itu sudah dapat rombong dan peralatannya,” tuturnya. Dia menggenjot sendiri rombong tersebut. Perubahan hidup itu membuat Sri Lestari -istri yang kini telah berpisah- kaget. Kata-kata seperti terus kerjo opo, Pa? sering kali terucap. Ketika Ismail memutuskan menggenjot sendiri rombong es tebunya, Sri nyaris tak percaya. ”Sing bener ae, Pa?” ujar Sri sebagaimana ditirukan Ismail.
Namun, Ismail bergeming. Melihat keteguhan hati suaminya, Sri bisa memahami. ”Apalagi, tetap harus ada penghasilan kan,” katanya. Ismail tak bersedia mengungkapkan alasan pisah dari istrinya. Selain
parfum dan es tebu, Ismail mencoba jual beli apa saja. Mulai seprai
hingga mobil. Namun, hanya eceran. ”Maklum, dana terbatas dan
penghasilan harus ditingkatkan,” ungkapnya.
Dari berjualan parfum,
Ismail hanya mendapatkan rata-rata Rp 600 ribu per bulan, sedangkan
dari es tebu dapat Rp 700 ribu-Rp 800 ribu. ”Tapi, saya bangga dengan
pilihan ini. Meski hanya jadi tukang es tebu dan sales parfum, saya jauh lebih berbahagia daripada saat masih kerja di industri rokok,” tegasnya. “
Tapi, berkat ditulis Jawa Pos itulah, saya kemudian mendapat kesempatan
untuk bertemu dengan banyak orang,” kata pria yang berulang tahun
setiap 30 April tersebut.
Quote :
Mengalah, Mundur, Bukan berarti Kalah...
Mundur beberapa langkah untuk melompat lebih jauh....
Pintu Rizqi yang diberikan oleh-Nya tidak hanya dari satu tempat saja....
Sumber:
http://www.dakwatuna.com
Jawa Pos, edisi 3 September 2011
Note :
Tahun 2011 diberitakan oleh Jawa Poss, edisi 3 September 20211, Tubagus Ismail telah sukses dalam kehidupannya. Dia telah bekerja kembali dengan bergabung di SWAT28 (silahkan lihat di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar