Halaman Muka

Sabtu, 16 Juni 2012

Corporate Slave


Beberapa bulan yang lalu, kata-kata corporate slave atau budak perusahaan,  terdengar oleh saya kembali. Kata-kata ini terucap oleh keponakan saya, dimana saat itu saya bertanya tentang rencana dia untuk menghabiskan waktu diakhir pekan itu. Jawaban dia saat itu “ wah…nggak bisa kemana-mana, harus ke kantor, ada kerjaan yang harus diselesaikan, biasa....corporate slaves....”, merupakan jawaban sambil bercanda yang sebenarnya mempunyai banyak makna. Keponakan saya mengucapkan itu, bukan karena ketidaksiapan dia untuk memberikan yang terbaik pada pekerjaan dan tugasnya, melainkan ungkapan bahwa, sebagai pegawai kantoran, dia mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas dia, dan itu, kalau perlu harus dia lakukan pada saat libur weekend sekalipun, karena terpaksa atau ada perintah. Dia mengibaratkan dirinya layaknya corporate slave…



Memang sudah menjadi tradisi di muka bumi ini, ketika kita telah mencapai umur tertentu dan dengan gelar tertentu, telah tiba waktunya buat kita untuk mencari kerjaan pada perusahaan. Tentu saja biasanya perusahan atau instansi pemerintah yang diincar adalah yang terbaik menurut kita masing-masing untuk mendapatkan nafkah dan mendapatkan karir yang terbaik. Tetapi tradisi atau kebiasaan bekerja pada perusahaan, atau menjadi pegawai sebuah perusahaan, belum tentu adalah yang terbaik buat kita masing-masing, ini juga berlaku pada tradisi atau kebiasaan umum lainnya dalam masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bisa saja menjadi pegawai sebuah perusahaan, dimana kita akan mengabdi pada perusaahaan itu merupakan kesalahan terbesar yang kita lakukan. Karena mungkin bagi diri kita masing-masing, masih ada cara lain untuk meningkatkan kehidupan kita dengan mendapatkan nafkah dengan tidak menjadi pegawai perusahaan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan orang-orang yang menjadi pegawai perusahaan, melainkan sekedar sharing agar dimanapun kita bekerja, kita harus memberikan totalitas kita tetapi kita harus pula menerima hasil dari totalitas kita dengan upah dalam arti yang seluas-luasnya, yang sepadan, yang memberikan kepuasan total dalam diri kita. Terutama dalam pengembangan diri kita.

Sudah sangat mengakar dalam kehidupan sebagian besar dari manusia, bahwa menjadi pegawai suatu perusahaan adalah tindakan yang paling aman untuk mencari nafkah dan menjamin dan menunjang kelangsungan hidupnya. Tetapi apakah hal ini benar? Apakah memposisikan diri kita setiap saat, dengan atau tanpa disadari, dengan atau tanpa alasan, pada posisi siap untuk di PHK oleh perusahaan, adalah tindakan yang paling aman dalam kehidupan kita untuk mencari nafkah dan menunjang kehidupan kita?

Tentu saja jawabannya ada pada diri kita sendiri, bagaimana kita kerja, disiplin dan sebagainya merupakan jaminan yang terbaik yang kita miliki saat bekerja pada sebuah perusahaan. Tetapi jelas itu bukan jaminan 100% bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya cara untuk mencari nafkah dan menjalani kehidupan kita. Anda akan terjamin bila anda dalam kontrol penuh, dan menjadi pegawai adalah menjadi seseorang yang dikontrol, dalam hal ini oleh perusahaan.

Menjadi pegawai perusahaan adalah proses barter antara waktu yang kita berikan berupa tenaga dan pikiran  dengan upah yang kita terima dari perusahaan. Upah ini dapat berupa gaji, tunjangan kesehatan, tunjangan transportasi atau mobil dinas, rumah dinas dan sebagainya. Jadi kita akan menerima upah saat kita memberi tenaga dan pikiran kita pada perusahaan. Bagaimana kalau kita sedang tidak memberikan tenaga dan pikiran kita pada perusahaan, seperti saat berlibur, saat berkumpul dengan keluarga atau saat tidur sekalipun? Apakah pada saat-saat itu kita tidak boleh atau tidak bisa mendapat upah?  Apakah kita harus mendapatkan upah saat kita kerja saja? Apakah yang kita lakukan dengan tenaga dan pikran diluar jam kerja tidak boleh mendapat upah? Mungkin jawaban anda adalah boleh saja, itu yang namanya kerja sambilan. Tetapi akan ada yang memberi masukan bahwa berbuat hal seperti itu tidak akan memberikan totalitas kita kepada perusahaan, mungkin timbul ”conflict of interest” dan sebagainya. Jadi  apakah barter  yang terjadi saat kita memberikan waktu kita yang berupa tenaga dan pikiran dan sebagai balasan dari yang kita berikan, kita menerima upah dari perusahaan merupakan barter yang terbaik? Bagaimana dengan waktu lainnya dalam kehidupan kita?

Apakah ada cara lain? 
Tentu saja ada, dan hal yang paling penting adalah, menjadikan “waktu” yang kita miliki dalam kehidupan menjadi sesuatu yang mempunyai “nilai”. Kita harus membuat sebuah sistem agar “waktu” kita memberikan “nilai” lebih kepada orang lain dan ini harus bergulir secara terus menerus, dua puluh empat jam sehari , tujuh hari seminggu. Kita harus bisa juga menciptakan pendapatan pasif atau passive income dari waktu yang ada dalam kehidupan kita. Ini dapat berupa apa saja, seperti membangun sebuah perusahaan, membangun situs dan blognya , atau  yang lainnya. Yang penting adalah bahwa apa yang dilakukan itu, sejak dimulai, akan selalu mengalirkan pendapatan kepada kita, baik hal itu sedang kita tangani langsung atau tidak.

Ada juga yang berpendapat bahwa dengan bekerja pada sebuah perusahaan, kita akan mendapatkan pengalaman  kehidupan. Tapi perlu diingat bahwa pengalaman yang kita dapatkan dalam pekerjaan kita sebagai pegawai sebuah perusahaan adalah pengalaman dari kerja di lingkungan kerja kita itu sendiri. Sedangkan pengalaman kehidupan, kita selalu dapatkan baik itu kita seorang pegawai perusahaan ataupun tidak. Dan pengalaman kerja yang kita dapatkan pada sebuah perusahaan tempat kita bekerja, biasanya terbatas dan selalu merupakan pengulangan dengan disertai bumbu-bumbu modifikasi disana-sini saja. Dan bisa saja tanpa kita sadari, kita menjadi seseorang yang berada dalam sebuah sangkar yang kurang dapat leluasa bergerak.

Kembali kepada keponakan saya diawal tulisan ini, saya sempat bertanya kepada dia : “Apakah kamu memang benar-benar menikmati atau enjoy dalam pekerjaan, apakah memang itu yang kamu inginkan, kamu harus bertanya dalam dirimu yang terdalam untuk dapat jawaban yang benar. Lupakan tradisi dan coba lihat dengan perspektif lain”. Hal ini saya ajukan, karena tanpa sadar, walau dalam keadaan bercanda, ia telah menyatakan dirinya sebagai corporate slave......

Dua minggu  kemudian, keponakan saya memberitahu kepada saya bahwa, setelah merenung dan memikirkan secara mendalam, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Tentu saja hal ini membuat saya kaget sejenak. Tapi menurut dia, kedua orang tuanya sangat mendukung apa yang akan dilakukannya. Orang tua yang bijak...

Dan ia mengakui bahwa selama ini, sebenarnya ia kurang senang dan tidak enjoy dengan pekerjaannya. Sebagai seorang yang masih berusia muda, ia akan coba merefleksi dirinya, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia berpikir bahwa kemungkinan untuk melanjutkan kuliah pada jenjang yang lebih tinggi, mungkin alternatif yang terbaik saat ini baginya.

Tentu saja sebagai paman, setelah kaget sejenak, saya merasa bangga dengan keponakan saya. Ia yang masih muda itu sudah mengetahui bahwa ia harus mendapatkan upah yang sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan dengan tidak menikmati pekerjaannya jelas ia tidak mendapatkan balasan yang  sesuai. Bisa saja itu dari ”materi” atau hal lainnya. Yang jelas ia tidak enjoy.

Apa yang akan dilakukan oleh keponakan saya selanjutnya, adalah hak dia sendiri. Dia mempunyai kebebasan penuh untuk meneruskan pengalaman kehidupannya.

Apakah itu melanjutkan sekolah, bekerja pada perusahaan atau mungkin ia sudah siap untuk :
  • Tidak mau lagi mengucapkan kepada atasannya ”maaf pak”,  walaupun kesalahan pekerjaan terletak pada kebodohan atasannya itu sendiri.
  • Tidak mau lagi mengemis untuk kenaikan gajinya pada perusahaan dan siap untuk menargetkan berapapun ”gaji” yang ingin diterimanya, hanya dengan tindakan dan ijin dirinya sendiri.
  • Tidak mau lagi menerima peraturan-peraturan yang kadang-kadang tidak masuk akal, dan bekerja lebih bebas
  • Menjadi bahagia tanpa menjadi pegawai dan mendirikan usaha sendiri.
Semua jawaban itu tentu saja ada pada keponakan saya sendiri. Hanya ia yang tahu apa yang terbaik baginya, to be a corporate slave or not...

Yang penting ia harus melakukan totalitas dari apa yang dikerjakannya, dan menikmati hasil ketotalitasan yang telah ia berikan.

Apakah Anda siap untuk bertanya kepada diri sendiri?


Source :

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...