Beberapa bulan yang lalu, kata-kata corporate slave atau budak
perusahaan, terdengar oleh saya kembali. Kata-kata ini terucap oleh
keponakan saya, dimana saat itu saya bertanya tentang rencana dia untuk
menghabiskan waktu diakhir pekan itu. Jawaban dia saat itu “ wah…nggak
bisa kemana-mana, harus ke kantor, ada kerjaan yang harus diselesaikan,
biasa....corporate slaves....”, merupakan jawaban sambil bercanda yang
sebenarnya mempunyai banyak makna. Keponakan saya mengucapkan itu,
bukan karena ketidaksiapan dia untuk memberikan yang terbaik pada
pekerjaan dan tugasnya, melainkan ungkapan bahwa, sebagai pegawai
kantoran, dia mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas dia,
dan itu, kalau perlu harus dia lakukan pada saat libur weekend
sekalipun, karena terpaksa atau ada perintah. Dia mengibaratkan dirinya
layaknya corporate slave…
Memang sudah menjadi tradisi di muka
bumi ini, ketika kita telah mencapai umur tertentu dan dengan gelar
tertentu, telah tiba waktunya buat kita untuk mencari kerjaan pada
perusahaan. Tentu saja biasanya perusahan atau instansi pemerintah yang
diincar adalah yang terbaik menurut kita masing-masing untuk
mendapatkan nafkah dan mendapatkan karir yang terbaik. Tetapi tradisi
atau kebiasaan bekerja pada perusahaan, atau menjadi pegawai sebuah
perusahaan, belum tentu adalah yang terbaik buat kita masing-masing,
ini juga berlaku pada tradisi atau kebiasaan umum lainnya dalam
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bisa saja menjadi pegawai
sebuah perusahaan, dimana kita akan mengabdi pada perusaahaan itu
merupakan kesalahan terbesar yang kita lakukan. Karena mungkin bagi
diri kita masing-masing, masih ada cara lain untuk meningkatkan
kehidupan kita dengan mendapatkan nafkah dengan tidak menjadi pegawai
perusahaan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan
orang-orang yang menjadi pegawai perusahaan, melainkan sekedar sharing
agar dimanapun kita bekerja, kita harus memberikan totalitas kita
tetapi kita harus pula menerima hasil dari totalitas kita dengan upah
dalam arti yang seluas-luasnya, yang sepadan, yang memberikan kepuasan
total dalam diri kita. Terutama dalam pengembangan diri kita.
Sudah
sangat mengakar dalam kehidupan sebagian besar dari manusia, bahwa
menjadi pegawai suatu perusahaan adalah tindakan yang paling aman untuk
mencari nafkah dan menjamin dan menunjang kelangsungan hidupnya. Tetapi
apakah hal ini benar? Apakah memposisikan diri kita setiap saat, dengan
atau tanpa disadari, dengan atau tanpa alasan, pada posisi siap untuk
di PHK oleh perusahaan, adalah tindakan yang paling aman dalam
kehidupan kita untuk mencari nafkah dan menunjang kehidupan kita?
Tentu
saja jawabannya ada pada diri kita sendiri, bagaimana kita kerja,
disiplin dan sebagainya merupakan jaminan yang terbaik yang kita miliki
saat bekerja pada sebuah perusahaan. Tetapi jelas itu bukan jaminan
100% bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya cara untuk mencari
nafkah dan menjalani kehidupan kita. Anda akan terjamin bila anda dalam
kontrol penuh, dan menjadi pegawai adalah menjadi seseorang yang
dikontrol, dalam hal ini oleh perusahaan.
Menjadi pegawai
perusahaan adalah proses barter antara waktu yang kita berikan berupa
tenaga dan pikiran dengan upah yang kita terima dari perusahaan. Upah
ini dapat berupa gaji, tunjangan kesehatan, tunjangan transportasi atau
mobil dinas, rumah dinas dan sebagainya. Jadi kita akan menerima upah
saat kita memberi tenaga dan pikiran kita pada perusahaan. Bagaimana
kalau kita sedang tidak memberikan tenaga dan pikiran kita pada
perusahaan, seperti saat berlibur, saat berkumpul dengan keluarga atau
saat tidur sekalipun? Apakah pada saat-saat itu kita tidak boleh atau
tidak bisa mendapat upah? Apakah kita harus mendapatkan upah saat kita
kerja saja? Apakah yang kita lakukan dengan tenaga dan pikran diluar
jam kerja tidak boleh mendapat upah? Mungkin jawaban anda adalah boleh
saja, itu yang namanya kerja sambilan. Tetapi akan ada yang memberi
masukan bahwa berbuat hal seperti itu tidak akan memberikan totalitas
kita kepada perusahaan, mungkin timbul ”conflict of interest” dan
sebagainya. Jadi apakah barter yang terjadi saat kita memberikan
waktu kita yang berupa tenaga dan pikiran dan sebagai balasan dari yang
kita berikan, kita menerima upah dari perusahaan merupakan barter yang
terbaik? Bagaimana dengan waktu lainnya dalam kehidupan kita?
Apakah ada cara lain?
Tentu
saja ada, dan hal yang paling penting adalah, menjadikan “waktu” yang
kita miliki dalam kehidupan menjadi sesuatu yang mempunyai “nilai”. Kita
harus membuat sebuah sistem agar “waktu” kita memberikan “nilai” lebih
kepada orang lain dan ini harus bergulir secara terus menerus, dua puluh
empat jam sehari , tujuh hari seminggu. Kita harus bisa juga
menciptakan pendapatan pasif atau passive income dari waktu yang ada
dalam kehidupan kita. Ini dapat berupa apa saja, seperti membangun
sebuah perusahaan, membangun situs dan blognya , atau yang lainnya.
Yang penting adalah bahwa apa yang dilakukan itu, sejak dimulai, akan
selalu mengalirkan pendapatan kepada kita, baik hal itu sedang kita
tangani langsung atau tidak.
Ada juga yang berpendapat bahwa
dengan bekerja pada sebuah perusahaan, kita akan mendapatkan
pengalaman kehidupan. Tapi perlu diingat bahwa pengalaman yang kita
dapatkan dalam pekerjaan kita sebagai pegawai sebuah perusahaan adalah
pengalaman dari kerja di lingkungan kerja kita itu sendiri. Sedangkan
pengalaman kehidupan, kita selalu dapatkan baik itu kita seorang
pegawai perusahaan ataupun tidak. Dan pengalaman kerja yang kita dapatkan
pada sebuah perusahaan tempat kita bekerja, biasanya terbatas dan
selalu merupakan pengulangan dengan disertai bumbu-bumbu modifikasi
disana-sini saja. Dan bisa saja tanpa kita sadari, kita menjadi
seseorang yang berada dalam sebuah sangkar yang kurang dapat leluasa
bergerak.
Kembali kepada keponakan saya diawal tulisan ini, saya sempat bertanya kepada dia : “Apakah
kamu memang benar-benar menikmati atau enjoy dalam pekerjaan, apakah
memang itu yang kamu inginkan, kamu harus bertanya dalam dirimu yang
terdalam untuk dapat jawaban yang benar. Lupakan tradisi dan coba lihat
dengan perspektif lain”. Hal ini saya ajukan, karena tanpa sadar, walau
dalam keadaan bercanda, ia telah menyatakan dirinya sebagai corporate
slave......
Dua minggu kemudian, keponakan saya memberitahu
kepada saya bahwa, setelah merenung dan memikirkan secara mendalam, ia
memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Tentu saja hal ini membuat
saya kaget sejenak. Tapi menurut dia, kedua orang tuanya sangat
mendukung apa yang akan dilakukannya. Orang tua yang bijak...
Dan ia
mengakui bahwa selama ini, sebenarnya ia kurang senang dan tidak enjoy
dengan pekerjaannya. Sebagai seorang yang masih berusia muda, ia akan
coba merefleksi dirinya, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia
berpikir bahwa kemungkinan untuk melanjutkan kuliah pada jenjang yang
lebih tinggi, mungkin alternatif yang terbaik saat ini baginya.
Tentu
saja sebagai paman, setelah kaget sejenak, saya merasa bangga dengan
keponakan saya. Ia yang masih muda itu sudah mengetahui bahwa ia harus
mendapatkan upah yang sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan dengan
tidak menikmati pekerjaannya jelas ia tidak mendapatkan balasan yang
sesuai. Bisa saja itu dari ”materi” atau hal lainnya. Yang jelas ia
tidak enjoy.
Apa yang akan dilakukan oleh keponakan saya
selanjutnya, adalah hak dia sendiri. Dia mempunyai kebebasan penuh
untuk meneruskan pengalaman kehidupannya.
Apakah itu melanjutkan sekolah, bekerja pada perusahaan atau mungkin ia sudah siap untuk :
- Tidak mau lagi mengucapkan kepada atasannya ”maaf pak”, walaupun kesalahan pekerjaan terletak pada kebodohan atasannya itu sendiri.
- Tidak mau lagi mengemis untuk kenaikan gajinya pada perusahaan dan siap untuk menargetkan berapapun ”gaji” yang ingin diterimanya, hanya dengan tindakan dan ijin dirinya sendiri.
- Tidak mau lagi menerima peraturan-peraturan yang kadang-kadang tidak masuk akal, dan bekerja lebih bebas
- Menjadi bahagia tanpa menjadi pegawai dan mendirikan usaha sendiri.
Semua
jawaban itu tentu saja ada pada keponakan saya sendiri. Hanya ia yang
tahu apa yang terbaik baginya, to be a corporate slave or not...
Yang penting ia harus melakukan totalitas dari apa yang dikerjakannya, dan menikmati hasil ketotalitasan yang telah ia berikan.
Apakah Anda siap untuk bertanya kepada diri sendiri?
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar