Halaman Muka

Minggu, 03 Juni 2012

Secangkir Air Teh Yang Luber

By Admin

Peristiwa ini terjadi setelah beberapa pekan dari kejadian yang mungkin kini telah dilupakan oleh masyarakat saat ini. Tepatnya tanggal 27 Juli 1996, ya... tragedi perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia diantara dua kubu yang bertikai pasca kongres partai. Terlepas dari ada atau tidaknya "invisible hand" dalam peristiwa itu, kondisi Indonesia menjadi berubah drastis menjadi lebih "genting" dari pada biasanya. Kondisi emergensi / siaga satu juga dilakukan para aktivis kampus pada masa tersebut. Hal ini terkait dengan adanya kabar bahwa terjadi penangkapan oleh aparat terhadap para aktivis kampus di seluruh Indonesia. 

Pada era tersebut, Penulis masih berstatus seorang mahasiswa yang sedang menempuh tugas akhir dari study yang ditempuh. Masa-masa sebagai aktifis kampus telah diakhiri, selain karena sudah terlalu lama "asyik di kampus", juga karena adanya alih generasi para organisatorisnya dan yang utama adalah karena adanya tuntutan dari orang tua agar segera mengakhiri study untuk melangkah ke dunia kerja. Peristiwa 27 Juli 1996, menyebabkan semua unsur para aktifis berkumpul kembali. Dari yang paling yunior, senior, para tetua dan para alumni untuk mendiskusikan berbagai rencana "aksi", rencana "second protocol" dan lain sebagainya untuk diformulakan menjadi beberapa alternatif solusi dari berbagai kemungkinan yang mungkin saja terjadi. 

Penulis pada waktu itu bersahabat erat dengan seorang aktifis seangkatan yang masih aktif meski seharusnya dia sudah mulai menulis tugas akhir. Namanya Alnur M. Jaenudin, seorang profil aktifis kampus yang tanggap, tanggon dan trengginas di lapangan maupun di atas mimbar kampus. Dia mengambil program study pembangunan di Fakultas Ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Selain aktif dalam berorganisasi dia juga suka akan berbagai hal yang berbau "tarekat" dan berbagai ilmu "kanuragan". Setahu penulis, dia memiliki banyak guru dari tepi pesisir pantai Trenggalek sampai desa Jatigowok, Wuluhan Jember. Terkait dengan peristiwa 27 Juli, dia mengajak penulis untuk bertemu dengan seorang "guru" dari desa Ambulu, Jember Jawa Timur. Dia bilang : "....Biar lebih mantap dan jaga-jaga... kali aja terserempet ekses dari Jakarta. Yang penting Mas temani Aku kesana dan semua biaya, Aku yang nanggung..."

Abah Gopal, Pencak Silat aliran Pamacan dg jurus Sunda Buhun
Pada hari yang telah disepakati berdua, Kami bertemu di malam hari dengan sang "guru" tersebut. Namanya Kiai Nur, begitu orang sekitar Desa Ambulu menyebutnya. 

Banyak orang bilang bahwa beliau adalah seorang guru ngaji sekaligus jagoan silat di wilayah selatan Jember Jawa Timur. Bagi penulis, Kiai Nur tampak "biasa" saja. Penampilannya sederhana serta cendrung seperti seorang petani kebanyakan dan memang ternyata beliau adalah seorang petani.

Sejak awal bertemu, rekan penulis selalu mendominasi pembicaraan dalam pertemuan tersebut. Terlepas dari latar belakang menjadi seorang "macan kampus", rasanya niatan awal yang dibicarakan dengan Kiai Nur untuk "berguru" telah melenceng jauh. Dominasi pembicaraan rekan penulis tidak hanya untuk hal pelengkap obrolan saja, namun juga telah mendominasi inti utama tentang hal yang hendak dipelajari. Ada yang menarik dari kelakuan Kiai Nur selama pembicaraan tentang hal utama dari niatan rekan penulis. Dia selalu menambahkan air dari teko ke dalam gelas sedikit-demi sedikit. Karena dilakukan berkali-kali, maka gelas itupun penuh dan bahkan air teh di dalamnya tertumpah. Meski telah penuh, Kiai Nur selalu menambahkan air teh ke dalam gelas. Air pun mulai tertumpah ke atas meja dan pada akhirnya menetes ke lantai.

Pencak Silat. Martial Arts from Indonesia
Penulis yang merasa khawatir Kiai Nur ada masalah dalam penglihatannya, mencoba untuk memperingatkannya : "Nyuwun sewu Pa Kiai..... Gelasnya sudah penuh....". Kiai Nur yang selama pertemuan hanya menganggukan kepala, tersenyum dan menjawab seperlunya, menghela nafas panjang. 

Lalu beliau berkata : "....Hmmm.. Yang diperlukan oleh Mas Jaenudin sudah tidak diperlukan lagi. Karena Mas Jaenudin telah menguasai banyak hal yang diperlukan..." Rekan Saya lalu menjawab : " Nyuwun sewu Pa Kiai... Andika datang kemari jauh-jauh justru untuk belajar dari Pa Kiai... Dus pundi niki Pa Kiai...?"


Dengan bijaksana Kiai Nur menjawab : " Untuk menerima air teh dari teko ini, air dalam gelas harus terlebih dahulu digunakan / diminum. Gelas yang masih terisi penuh, akan susah menerima air teh baru yang berasal dari teko. Hanya gelas yang telah kosong, dapat menerima air teh dari teko ini..." Kami pun segera menyadari bahwa jawaban tersebut merupakan jawaban kiasan yang penuh makna mendalam. Kami pun segera menyadari maksud dan tujuan dari penjelasan tersebut. Dengan kerendahan hati, rekan penulis segera meminta maaf atas perbuatannya dan bersedia untuk menjadi "gelas yang kosong".

Sungguh luar biasa... Dengan segala keterbatasan dan keserdehanaan, Kiai Nur mampu memberikan sebuah "training motivasi" yang melampaui jamannya. Sebuah penjelasan sederhana namun smart tentang open mind dan mental blocker. Ya... terkadang ada mental blocker dalam diri manusia untuk menerima hal yang baru. Untuk menerima suatu hal yang baru dalam kehidupan ini, perlu adanya open mind untuk mencernanya, Tanpa disertai pikiran yang terbuka, maka Kita mungkin akan menjadi "barang antik" dalam kehidupan ini.

Beberapa bulan penulis menemani Jaenudin untuk menerima bimbingan dan pelajaran yang baru dari Kiai Nur. Penulis amati, sebagian besar justru merupakan pelajaran yang bersifat spritual berupa kepasrahan diri seorang makhluk kepada Sang pencipta-Nya. Penulis jadi teringat sebuah syair dari sebuah perguruan pencak silat di tanah sunda yang isinya begini :

Ilmu luhung teu adigung   (Ilmu tinggi namun tidak sombong)
Sakti diri teu kumaki   (Menjadi jagoan/sakti namun tidak bertingkah)
Usik yakin kersaning Illahi   (...akan mendapatkan ridho-Nya)


Note :
  • Kiai Nur telah wafat beberapa tahun yang lalu. Selama pelajaran berlangsung justru banyak muatan nilai tentang hidup dan kehidupan pada saat kini dan persiapan untuk menjalani kehidupan "nanti".
  • Komunikasi pada pertemuan tersebut di atas dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa Halus. Penulis mencoba menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami pembaca.
  • Tulisan ini di buat atas dasar ingatan penulis tentang peristiwa tersebut. Sampai saat tulisan ini di buat, dokumen foto cetak Kiai Nur tidak berhasil ditemukan.
Tulisan lain dengan kasus yang sama :



Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...