creditmanagementassociation.org |
Saya tumbuh disebuah dusun diudik sana. Didusun kecil itu, mata pencaharian utama kami adalah bercocok tanam. Mereka yang tidak mempunyai tanah sendiri, menjadi petani penggarap tanah dengan sistem bagi hasil. Jika tak ada juragan tanah yang bersedia meminjamkan tanahnya untuk digarap, maka mereka menjadi buruh tani dengan upah harian. Ayah saya, juga menanam beragam macam tanaman. Setiap kali musim panen tiba, selalu saja ada begitu banyak bagian dari sisa-sisa tanaman yang berserakan. Misalnya, jerami padi. Gedebong batang pohon pisang. Daun-daun kol dan kubis. Sulur-sulur mentimum. Semuanya. Banyak sekali. Dan saking banyaknya, mereka menumpuk menjadi sampah. Mereka disebut sampah karena bagian-bagian yang dianggap bukan sampah sudah diambil dan dijual ke pasar. Atau disimpan dilumbung-lumbung warga sekampung.
Lalu, apa yang dilakukan terhadap sampah-sampah itu? Warga kampung kami tidak mengenal istilah garbage in-garbage out. Jadi, mereka tidak sadar bahwa kalau kita memasukkan sampah, maka kita akan menghasilkan sampah. Maklum, namanya juga orang kampung. Tetapi, itu menjadikan kami beruntung. Sebab, akibat kepolosan kami itu, kami masih menganggap bahwa sampah itu bisa menghasilkan sesuatu yang bukan sampah. Jadi, dengan segenap keluguan itu, kami menggali lubang ditanah. Lalu, semua sampah itu dikubur didalam lubang itu. Pada saat yang sama, kami memulai musim tanam yang baru. Dan pada saat itu pula, kami membongkar lubang-lubang kuburan sampah yang dibuat pada musim panen sebelumnya. Sekarang, sisa sampah itu berubah menjadi material tanah gembur berwarna kehitaman. Dengan tanah gembur itulah kami memberi tanaman baru nutrisi dan pupuk agar menjadi gemuk. Begitulah siklus hidup kami. Memanen-mengubur sampah-menanam benih-menggali kuburan sampah musim lalu. Begitu terus-menerus. Sekarang, kami ikut-ikutan menyebut material yang dihasilkan dari kuburan sampah itu sebagai kompos.
Sesudah saya besar, saya berkenalan dengan istilah garbage in, garbage out itu. Dalam banyak hal, konsep itu sangat berguna sekali. Tetapi, dalam konteks membangun kualitas diri, ternyata tidak selalu berlaku. Yang berlaku justru adalah kuburan sampah dikampung saya itu. Baiklah, mari kita akui bahwa sisa tanaman sehabis panen itu adalah sampah. Sampah is sampah. Bagaimanapun juga, tetaplah dia sampah. Dan material gembur yang dihasilkan ketika kita gali dimusim tanam berikutnya adalah kompos. Menurut pendapat anda, apa nama kuburan yang memproses sampah menjadi kompos itu? Bolehkah saya menyebutnya sebagai komposer? Ya, komposer. Sebuah sistem yang bisa mengubah sampah menjadi kompos. Komposer.
www.eagle-wi.gov |
Disaat seperti itu, yang paling banyak berperan adalah tubuh kita. Apakah sampah itu akan dikeluarkan kembali menghasilkan sampah juga. Misalnya, makian dibalas dengan makian. Perlakuaan buruk dibalas dengan perlakukan buruk. Kebencian dibayar kebencian. Sehingga dunia kita dipenuhi dengan dendam kesumat. Mungkin juga kita tidak membalasnya. Karena memang kita tidak memiliki kekuatan untuk itu. Tetapi, yang muncul sebagai output adalah sikap tertekan kita. Kesedihan kita. Hilangnya semangat kita. Sehingga jadilah kita sebagai seorang pecundang.
Atau, bisa sebaliknya; sampah yang masuk itu diolah dalam tubuh kita sedemikian rupa, sehingga outputnya sungguh merupakan sesuatu yang sangat berguna. Setiap masalah sulit, atau perlakuan buruk, dan pengalaman menyakitkan yang menimpa kita diolah demikian rupa sehingga yang menjadi outputnya adalah sikap positif. Anda, apapun yang terjadi; tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif yang datang dari luar. Anda tetap menjadi pribadi yang positif. Optimistik, dan bersikap baik.
Apa bisa? Bisa. Buktinya, banyak sekali orang yang dikecewakan. Disakiti. Dikhianati. Diperlakukan tidak adil. Tapi, mereka tetap tampil sebagai pribadi yang baik. Bagaimana hal itu bisa, adalah karena fungsi komposer didalam dirinya berjalan dengan baik. Dia mampu mengolah sampah-sampah yang masuk kedalam tubuhnya menjadi output yang positif. Jika hatinya pernah disakiti oleh orang lain (input), maka dia merenung. Oh, ternyata begini ya rasanya disakiti oleh seseorang (proses). Oleh karena itu, saya tidak boleh menyakiti orang lain (output). Maka mewujudlah dia sebagai orang yang sangat mengerti perasaan orang lain. Dan selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
Setiap manusia, memiliki sistem itu. Karena, pada prinsipnya, tubuh manusia itu adalah komposer. Seperti tanah yang bisa mengubah sampah menjadi kompos. Pertanyaannya sekarang adalah; seberapa baikkah kemampuan sistem komposer tubuh kita? Jika kita mempunyai sistem komposer yang baik, maka apapun yang kita alami tidak akan menjadikan diri kita pribadi yang kerdil. Malah sebaliknya, masalah itu akan menjadikan kita semakin baik dari hari ke hari. Persis seperti kompos yang menyuburkan tanah. Gara-gara sebelumnya ada sampah yang menumpuk disana, tanah itu malah menjadi gembur dan subur.
Sekarang coba bedakan dengan tanah yang kemampuan mengubah sampah menjadi komposnya sangat lemah. Sebut saja tanah kering kerontang dan gersang. Semakin banyak sampah yang ditumpuk, semakinlah dia menjadi bau busuk. Kalaupun yang kita buang ketanah itu bukan sampah, melainkan barang atau bahan-bahan yang bagus; dia tetap saja akan membusuk. Cobalah anda beli kue tart kelas satu. Harganya paling mahal. Dan rasanya paling enak. Jelas kue tart itu bukan sampah. Sekarang buang kue itu keatas tanah itu. Akankah dia menjadi kompos? Atau berubah menjadi sampah?
Sekarang, mari kita tegaskan lagi. Apakah sampah yang menyebabkan seseorang berubah menjadi sampah? Atau, kemampuan dirinya untuk mengubah sampah yang tidak berguna itu menjadi kompos tidak berfungsi bagus? Dalam banyak hal, kelihatannya lebih masuk akal jika kita mengatakan bahwa kemampuannya untuk mengolah informasi yang masuklah yang paling menentukan.
Mari kita ingat sekali lagi, bahwa tubuh manusia itu adalah komposer. Hanya saja, derajat kemampuannya yang berbeda. Semakin efektif fungsi komposernya, semakin banyak sampah yang bisa diolahnya menjadi sikap dan perilaku positif. Sebaliknya, semakin lemah kemampuan komposernya, akan semakin mudah dia terpengaruh oleh hal-hal negatif. Jika anda boleh memilih; apakah anda ingin menjadi komposer yang hebat, atau yang lemah?
Source :
dadangkadarusman.com
Source :
dadangkadarusman.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar