Upload by Intan Diana in Facebook |
“Habis manis, sepah dibuang,” betapa pandainya para sesepuh kita
membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai sudah tidak berguna lagi
disisihkan begitu saja. Kadang kita marah, kalau diperlakukan seperti
sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu jika sudah tidak ada
lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya saja. Kita
tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak ingin
menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar
adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika
kita sudah menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus
menikmati rasa manis yang sudah tidak kita miliki lagi.
Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih? Meski bukan daerah penghasil gula, namun di rumah masa kecil saya
terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami menggunakan parang untuk
memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian memotong batang
tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami
mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana
kunyahan itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang
hanya tertinggal ampas. Kami meludahkan ampas itu ke tanah. Benda tak
berdaya diatas tanah itulah yang kita sebut sebagai sepah. Habis manis,
sepah dibuang. Memangnya harus diapakan lagi sepah itu jika tidak
dibuang?
Kita sering menggambarkan hidup yang sudah tidak berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak berguna, tetapi masih ngotot untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini adalah saatnya untuk mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
Kita sering menggambarkan hidup yang sudah tidak berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak berguna, tetapi masih ngotot untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini adalah saatnya untuk mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
Jadilah pemanis kehidupan.
Disekitar kita begitu
banyak orang yang suka minum kopi. Tetapi, saya hampir tidak pernah
mengenal orang yang minum kopi tanpa gula. Bahkan sekalipun kita
menyebutnya ‘kopi pahit’, ternyata ya menggunakan gula juga. Mengapa
gula selalu ada dalam setiap cangkir kopi yang disajikan? Karena gula
membuat rasa pahit pada kopi terasa menjadi manis.
Anda yang mengetahui
rasa asli kopi tentu tahu jika sebenarnya kopi itu mirip arang. Karbon
yang tersisa dari benda hangus. Makanya rasanya tidak benar-benar enak.
Tetapi, ketika kedalam seduhan kopi pahit itu kita bubuhkan gula;
tiba-tiba saja kita menikmatinya. Bahkan menjadikannya sebagai minuman
favorit. Bayangkan jika kita bisa membuat rasa pahit kehidupan menjadi
terasa manis. Tentunya kita tidak akan lagi harus disiksa oleh rasa
pahit itu. Bahkan boleh jadi, kita menjadi penikmat rasa pahit itu. Kita
bisa menari dalam deraan tantangan dan rintangan. Kita masih bisa
tersenyum ditengah terpaan angin cobaan. Dan kita masih bisa bersyukur
meski tengah berada dalam pahit getirnya cobaan hidup. Semoga kita bisa
menjadi pribadi yang mampu memaniskan kehidupan.
Jadilah pribadi yang manis, maka pasti selalu dikerubuti.
Ditempat tidur saya tiba-tiba saja banyak sekali semut. Setelah
diperiksa, ternyata ada sisa-sisa gula dari kue kering yang kami makan
bersama anak-anak. Ternyata benar; ada gula, ada semut. Para semut tidak
lagi memperdulikan lokasi dan situasi. Dimana ada gula, kesitulah
mereka berbondong beriringan. Ini tidak hanya benar bagi para semut.
Coba saja perhatikan orang-orang yang bisa memberi manfaat bagi
lingkungannya.
Para dermawan, selalu dikerubungi oleh para pengikut
setianya. Para alim ulama dan orang-orang berilmu, selalu menjadi
rujukan para pencari pencerahan. Siapapun yang bisa memberi manfaat
kepada orang lain, bisa dipastikan selalu dibutuhkan oleh mereka. Kita?
Sesekali orang lain itu mbok ya membutuhkan kita gitu loh. Tapi mengapa
yang terjadi malah sebaliknya ya? Mereka malah mengira seolah kita ini
tidak ada. Sekalipun kita sudah menyodor-nyodorkan wajah kita. Tetap
saja masih tidak mereka lihat. Sudah beriklan, bahkan. Tapi juga tidak
ditanggapi. Barangkali, karena kita belum bisa menjadi pribadi yang
manis bagi mereka. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mengerubuti
segala sesuatu yang terasa manis.
Warren Buffet, photo by walllook.com |
Tetaplah manis, maka sepahmu tidak pernah dibuang.
Mari berhenti untuk marah atau kecewa jika orang lain membuang kita
karena mereka menilai kita sudah menjadi sepah. Mereka tidak salah.
Kitalah yang harus berpikir bagaimana caranya supaya tidak menjadi
sepah. Sebab jika kita masih tetap memiliki rasa manis itu, mereka tidak
akan membuang kita, percayalah.
Saya mengenal seorang eksekutif senior
yang mumpuni. Setelah memasuki masa pensiun dari jabatanya yang tinggi,
saya pikir beliau akan menjadi seperti ‘tebu-tebu’ yang lainnya.
Ternyata saya keliru. Perusahaan kemudian memperpanjang masa kerjanya
dengan system kontrak. Lalu beliau berpindah ke perusahaan lain. Lalu
beliau ditarik lagi oleh perusahaan lainnya. Bagi saya, beliau inilah
salah satu living legend mereka yang tidak pernah membiarkan dirinya
‘kehilangan rasa manis’. Meski usianya sudah jauh melampaui masa
pensiun, beliau tetap manis. Rasa manis yang masih tetap lestari didalam
dirinya itulah yang menjadikan beliau tetap menjadi rebutan
perusahaan-perusahaan besar. Jadi jika kita tidak ingin menjadi sepah
yang dibuang, maka kita harus memastikan bahwa kita tetap menjadi
pribadi yang manis.
Nikmatilah rasa manis secukupnya, tidak berlebihan.
Sekarang, cobalah ambil sesendok gula terbaik yang Anda miliki. Lalu
suapkan sesendok gula itu ke dalam mulut Anda, dan kunyahlah. Apakah Anda
masih menikmati rasa manisnya? Pada dasarnya, semua orang menyukai rasa
manis. Namun, tak seorang pun bisa melahapnya terlalu banyak. Kita
semua mendambakan manisnya kehidupan. Dan kita sering terlalu serakah
untuk merengkuhnya sendirian. Bahkan gula pun mengajari kita bahwa
terlalu banyak rasa manis membuat kepala kita pusing, bahkan kita bisa
mengalami sindrom toleransi insulin.
Sungguh keliru jika kita mengira
hidup yang manis itu adalah yang semuanya serba indah. Tidak. Justru
hidup yang terlalu indah cenderung menjadikan kita pribadi yang serakah.
Semacam sindrom toleransi insulin kehidupan. Tidak peduli betapa banyak
insulin yang diproduksi dalam tubuh Anda, gula akan tetap menumpuk
dalam darah Anda. Tahukah Anda apa yang terjadi ketika dalam darah kita
terdapat lebih banyak gula dari yang seharusnya? Hmmmh, Anda tentu paham
yang saya maksudkan. Bahkan rasa manis kehidupan yang terlalu banyak
pun bisa membahayakan kehidupan diri Anda sendiri. Maka nikmatilah rasa
manisnya kehidupan, namun tidak perlu berlebihan.
Semanis apapun kita, tidak bisa lepas dari fitrah.
Sepah di kebun tebu kami jumlahnya tidak terlalu melimpah. Namun jika
dibiarkan tetap saja menjadi sampah. Kami punya banyak pilihan untuk
memperlakukannya. Jika kami membuangnya ke kolong kandang domba, maka
sepah itu akan menambah nutrisi pada pupuk kandang yang kami dapatkan.
Jika kami membuangnya ke kolam ikan, maka dia akan menjadi tempat
tumbuhnya plankton dan jentik-jentik makanan penggemuk ikan. Jadi,
apanya yang terbuang dari seonggok sepah? Tidak ada. Sepah benar-benar
menyadari bahwa dia tidak bisa melawan fitrah.
Semua orang yang pernah
muda akan menjadi tua. Semua yang gagah perkasa akan menjadi tak
berdaya. Semua yang kuat menjadi lemah. Itulah fitrah. Tetapi mari
sekali lagi kita lihat sang sepah. Bahkan setelah masuk tempat sampah,
dia tetap saja menjadi anugerah. Jika kita ikut mengimani konsepsi hidup
setelah mati, maka kita lebih beruntung lagi. Karena dengan keyakinan
itu kita kita bisa berharap memetik buah manis tabungan kebaikan yang
pernah kita lakukan semasa hidup. Kita boleh berharap itu, karena iman
kita mengajarkan bahwa setiap amal baik yang pernah kita lakukan atas
nama Tuhan, akan membuahkan imbalan yang sepadan. Beruntunglah kita yang
percaya, karena setidak-tidaknya kita memiliki harapan; bahwa fitrah
kita adalah untuk mempersiapkan tempat pulang alam keabadian.
Tidak perlu lagi untuk merasa kecewa karena telah dihempaskan oleh
lingkungan yang Anda harapkan memberikan penerimaan. Mungkin mereka
benar telah menghempaskan kita karena kita belum bisa memberi rasa manis
yang mereka butuhkan. Mungkin juga mereka keliru karena tidak bisa
menghargai rasa manis yang kita miliki. Tetapi, bukan itu yang perlu
menjadi fokus perhatian kita sekarang. Cukuplah untuk selalu memikirkan,
bagaimana caranya agar kita bisa memberikan lebih banyak lagi rasa
manis? Karena dengan rasa manis yang kita tebarkan, kita tidak perlu
meneriaki para semut untuk mengerubuti. Cepat atau lambat;
mereka akan datang sendiri.
Note :
Sebagai penutup, admin blog menambahkan beberapa clip motivasi terkait artikel di atas agar hidup Kita ini menjadi lebih "hidup" dan berarti untuk kini dan "nanti" serta tidak menjadi yang habis manis lalu sepah dibuang :
Motivasi by Inner Beauty
Motivasi by inginterbangMP
Motivasi by 3Vision
Artikel Terkait :
- The Fresh Fish
- Change Live of The Eagle
- Jalan Ditempat
- Tanda Harus Pindah Kerja
- Hidup Bahagia & Sukses Berkarir
http://www.dadangkadarusman.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar