Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Pesta pernikahan
itu biasa saja. Bukan di gedung besar. Bukan pula penuh pernak-pernik yang
membuatnya megah. Sebaliknya, perhelatan itu justru dilakukan di rumah. Cukuplah
tenda terpasang di halaman serta jalan buntu di depannya. Sebuah tenda biasa,
dan bukan tenda paling megah, Makanan ditempatkan di meja sederhana bertaplak
putih di garasi rumah itu.
Jumlah undangannya tidak banyak. Hanya kerabat dekat dan sahabat kedua
mempelai yang hadir. Pembawa acara serta pembaca doa kerabat sendiri. Musik
dimainkan oleh teman-teman pengantin. Tidak ada beragam upacara adat yang rumit
yang mengiringi pernikahan itu. Pakaian serta tata rias pengantin juga biasa
saja. Cuma sedikit lebih formal dibanding pada hari biasanya, namun cukup anggun
untuk dipandang sebagai gambaran pernikahan.
Sekali lagi, tak tampak hal luar biasa dari acara perbnikahan itu. Tetapi,
saya merasa sangat nyaman berada di sana. Ada suasana yang jarang saya peroleh
dari menghadiri kebanyakan pesta pernikahan pada acara tersebut. Saya merasa,
suasana pernikahan itu sangat akrab. Pembawa acara dengan sangat ringan menyapa,
bahkan berseloroh, pada tamu-tamunya. Hal itu wajar karena memang ia mengenalnya
persis.
Antarkawan juga bisa saling dorong untuk menyanyi, atau memainkan musik. Para
tamu juga saling sapa, hingga berbincang akrab. Pengantin juga tak harus
terus-menerus berdiri tegak di tempatnya dengan terus-menerus memasang senyum
anggun, menunggu diberi ucapan selamat. Sesekali, mereka seperti 'menjemput
bola', berjalan (kadang bersama, kadang sendiri-sendiri) mendatangi tamu,
bertukar kata secara ringan.
Suasana pernikahan demikian sungguh berbeda dengan pesta pernikahan yang kini
lazim. Tapi, suasana itu justru mampu mengingatkan: apa makna pesta pernikahan?
Kita acap merancang pesta pernikahan seagung dan semegah mungkin. Alasan kita,
itu hari yang benar-benar istimewa. Lalu, kita merancang segalanya agar
sempurna. Mulai dari bentuk undangan, atribut kenang-kenangan, seragam pakaian,
tempat pelaminan, makanan, hiburan, dan sejuta pernak-pernik lainya.
Begitu banyak yang harus diurus, dan begitu banyak yang ingin mengurus agar
benar-benar sempurna. Hasilnya, seringkali pesta pernikahan justru menjadi ajang
ketegangan keluarga. Alih-alih melahirkan suasana yang hangat, pesta pernikahan
banyak yang kemudian menjadi sekadar formalitas. Pesta pernikahan kita acap
bergeser fungsi dari acara bersyukur dan memohon doa menjadi ajang pamer gengsi
dan atribut diri. Banyak tamu hadir dengan perasaan terpaksa. Tak enak tidak
datang karena sudah diundang. Jika demikian, doa restu apa yang dapat kita
harapkan?
Kesederhanaan dalam pernikahan hari itu menyeret saya pada pertanyaan yang
dalam. Apa ya sulitnya berpikir dan bersikap sederhana seperti itu?
Jangan-jangan kerumitan kita dalam menggelar pesta perkawinan adalah refleksi
dari kerumitan cara berpikir dan bersikap secara menyeluruh. Kita lebih
mementingkan atribut ketimbang makna. Kita memenangkan formalitas dibanding
otentitas dan spontanitas. Kita mengedepankan gengsi ketimbang esensi. Pantas
jika bangsa kita masih jauh dari efektif.
Banyak program pembangunan kita buat, anggarannya pun dahsyat, dan kita
menganggapnya hebat, namun kenyataannya kondisi rakyat masih jalan di tempat.
Banyak kerja ilmiah kita lakukan, namun dunia ilmu masih saja di 'situ-situ'.
Banyak dakwah dan ceramah dilakukan, tapi maksiat --termasuk korupsi-- masih
saja ramai berjalan.
Semua itu tampaknya berpangkal pada kita yang tidak lagi mampu berpikir dan
bersikap sederhana. Akibatnya kita makin terkendalikan atribut, dan terjauhkan
dari makna. Itu yang makin mengasingkan kita (termasuk sebagai bangsa) dari
kehidupan yang berkah. Pernikahan sederhana yang akrab di siang itu mengingatkan
saya pada kesalahan besar kita selama ini
Source :
Dikirim ulang oleh Dewi PI
(Commercial
Planning & Analysis Division, PT.
Indosat Tbk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar