Oleh : Zaim Uchrowi
Wito namanya. Ia seorang yatim.
Ayahnya meninggal saat ia masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Sedih tentu.
Tapi, ia dan keluarga bukan tipe manusia yang gampang patah. Ibunya pekerja
keras, biasa membantu keluarga tetangga memasak untuk hajatan. Wito kecil
itu juga seorang ulet. Ia bekerja keras membantu siapa pun sambil bersekolah.
Lulus SMA swasta di kampungnya, ia hijrah ke Jakarta untuk 'ikut orang'. Ia
bukan saja andalan keluarga yang diikutinya untuk tugas-tugas domestik, namun
juga andalan masjid untuk menjaga kebersihan. Masih sempat pula ia kuliah.
Meskipun dengan tertatih-tatih, ia mampu merampungkan kuliahnya. Sebuah bekal
untuk memperoleh pekerjaan di sebuah kantor di Solo.
Di kantor itu, ia pekerja
andalan. Ia sanggup mengerjakan tugas apa pun tanpa pilih-pilih. Kepala Bagian
Umum menjadi tempat yang pas baginya, sampai kemudian perusahaan itu bangkrut.
Ia harus kehilangan pekerjaan, saat sudah harus menanggung beban keluarga dengan
satu anak. Limbung? Wito bukan seorang yang suka memikirkan nasib. Apalagi,
meratapi dan mengasihani diri sendiri sebagaimana jutaan manusia lain. Ia
memilih berbuat dan berbuat. Ia tahu persis bahwa perbuatanlah, dalam istilah
agama adalah amal, yang akan dinilai di Hari Akhir nanti. Bukan pikiran,
apalagi ratapan. Mushala kecil di sekitarnya ia rawat dengan baik. Anak-anak di
sekitar itu diajarinya mengaji, tanpa bayaran sama sekali. Untuk penghidupannya
sendiri, ia menyewa becak dari tetangganya. Tanpa ragu dan malu sama sekali
serta tanpa mempersoalkan bahwa dirinya sarjana, ia menarik becak itu. Sebuah
becak yang kemudian menjadi miliknya.
Sang istri semestinya bisa
membantunya. Tapi, kondisi fisik istrinya ternyata sangat lemah. Apalagi, saat
istrinya hamil. Dengan riang hati, Wito menyampaikan pada istrinya untuk
berhati-hati dan menjaga kesehatannya sendiri. Seluruh urusan pekerjaan rumah ia
tangani sendiri pula. Seusai jamaah Subuh di mushala, ia akan masak untuk
keluarga, mencuci pakaian, serta menyapu rumah dan halaman sekitar. Lalu, ia
mandi dan menarik becak hingga sekitar pukul 10 pagi. Saat itulah ia akan
membelokkan becaknya ke pasar untuk berbelanja kelapa.
Dengan tangannya sendiri, ia
membuat gerobak untuk berjualan es kelapa di dekat rumahnya. Sendiri ia
berjualan es kelapa. Dengan harga murah, tempatnya menjadi pilihan para
pengendara motor untuk istirahat sejenak, menghapus dahaga. Malam hari, setelah
mengajar mengaji, ia sempatkan diri untuk mengikuti kursus pijat terapi. Ia
terus perdalam sampai menjadi pemijat mahir. Jam berapa pun diminta untuk
memijat, ia akan berangkat tanpa pernah mau menetapkan ongkosnya. Berapa pun
yang ia dapatkan, akan ia syukuri.
Menarik becak, jualan es kelapa,
hingga menjadi pemijat menjadi ladang rezeki yang terus ditekuninya dengan
riang. Hasilnya, di antara banyak teman seangkatannya, kehidupannya relatif
berkah. Ia punya rumah dengan tanah hampir seluas 300 meter di tepi salah satu
jalan penting di Kota Solo. Ia dapat menyekolahkan anaknya ke sekolah yang
bagus, yang oleh kalangan kebanyakan sudah dipandang elite. Lebih dari itu,
praktis shalat lima waktunya terjaga untuk selalu berjamaah. Hal yang sekarang
semakin sulit dijaga oleh kita yang kadang merasa menjaga agama
sekalipun.
Di tengah jutaan para sarjana
yang lebih banyak hilir mudik mencari pekerjaan; di tengah jutaan pegawai negeri
ataupun swasta yang kegembiraan utamanya memperoleh komisi; di tengah banyak
pebisnis besar yang sebenarnya cuma calo; di tengah banyak orang-orang terhormat
yang seolah bekerja untuk rakyat, tapi kesibukan utamanya mencari jalan untuk
'mencuri' uang rakyat; Wito sungguh penjemput surga yang efektif. Ia seorang
yang riang untuk selalu berbuat dan berbuat.
Hanya sesekali ia tampak sedih,
dengan alasan yang istimewa. Di antaranya, setelah pemerintah menaikkan harga
BBM secara mendadak. Tanpa bertahap. Setelah kenaikan harga BBM itu, ia
sebagaimana ratusan ribu pedagang kecil lainnya harus berhenti berdagang. Harga
jual es-nya tak lagi cukup untuk membeli kelapa di pasar. Ketika ia mencoba
menaikkan sedikit harga itu, orang-orang tak lagi mampu membeli. Maka, ia pun
menutup usaha. "Kasihan, pelanggan saya tak kuat lagi membeli," katanya. Ia,
sekali lagi, lebih mengasihani orang lain ketimbang diri sendiri.
Adakah di antara kita yang lebih
dekat ke jalan surga ketimbang Wito? Adakah jalan untuk menjadikan seluruh
bangsa ini menjadi pribadi-pribadi penjemput surga? Yakni, pribadi yang tak
punya rasa sakit hati, kecewa, apalagi putus atas. Juga pribadi yang tidak
malas, namun justru antusias untuk terus berbuat dan berbuat.
|
Sumber :
www.republika.co.id/kolom
Ditulis ulang oleh :
Dewi Permata Indah
Commercial
Planning & Analysis Division
PT.
Indosat Tbk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar