Halaman Muka

Jumat, 11 Mei 2012

Memberi Ketika Tidak Berdaya

by Rhenald Kasali

Bisakah orang miskin memberi ?
Banyak orang yang saat ini berpikir dirinya harus kaya lebih dulu untuk bisa membantu orang lain. Orang-orang seperti ini menunda perbuatan baik, menunggu sampai saatnya tiba. Padahal bagi orang yang menerima, orang kaya memberi adalah biasa sekali. Pemberian yang paling indah justru adalah pemberian yang datang dari orang-orang yang susah.

Di Banda Aceh saya menemukan banyak orang yang tetap merasa susah dan hidupnya tetap tertekan kendati rumah-rumah mereka sudah lebih baru. Jalan-jalan beraspal kokoh telah terbangun, kedai-kedai kopi di Ulee Kareng telah kembali ramai dan roda ekonomi telah kembali berputar. Selain sulit menghilangkan trauma dan kesedihan yang mendalam akibat tsunami, kadang saya berpikir mungkin karena bantuan-bantuan yang mereka terima datang dari negara-negara kaya.

 
Tetapi di sebuah pesantren yang miskin di Jawa Timur saya menemukan anak-anak korban Tsunami Aceh yang hidup bahagia, meski mereka dipelihara oleh santri-santri yang tidak kaya. Kemungkinan besar mereka merasakan ketulusan dan rasa persaudaraan. Bukan sekedar pemberian.

 
Spiritual Giving
    Giving atau memberi pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok: material giving (uang, makanan, selimut, rumah, dan hadiah-hadiah), dan spiritual giving (kasih sayang, ketulusan, perhatian, kepedulian, senyum, dan uluran tangan).
     
Jadi pada dasarnya Anda tidak harus menjadi kaya secara material terlebih dulu untuk bisa memberi. Tetapi bila Anda bisa memberikan apa saja, Anda adalah orang yang kaya. Kaya adalah state of mind yang dibentuk oleh pikiran, bukan oleh jumlah uang. Bila dua orang yang berpenghasilan sama memberi, maka yang memberi lebih tuluslah yang lebih kaya.
      
Saya suka bertanya pada sopir saya mengapa ia selalu memberi pada pengemis yang meminta di sisi sebelah kanan di depan jendela kaca mobilnya sementara pemilik mobil lain mengunci rapat-rapat jendelanya. Ia mengaku dulu pernah menjadi sopir taksi, ”Mungkin karena kita tahu sama-sama susah cari uang di jalan,” ujarnya.
      
Di Bandung, saat seorang banci menepuk-nepuk tangan sambil berjoget di lampu merah, ia segera membuka jendela dan memberi bukan uang, tetapi sebatang rokok. Banci itu berucap spontan, “Masya Allah, rokok bo! Nuhun ya kang.” Ia melenggang pergi sambil tersenyum gembira.  
    
Dalam sebuah buku saku yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto selama ia di penjara, saya juga pernah membaca kisah para napi yang sering menerima “kiriman” uang receh yang dilempar dari balik tembok penjara oleh sopir-sopir truk yang dimasukkan ke dalam kotak korek api. “Mungkin mereka adalah mantan napi yang tahu betapa sulitnya orang kecil yang ditahan di penjara,”  ujar Arswendo.  
   
Bagi saya, orang-orang masih mau berbagi itulah yang kaya. Sebaliknya, di Jakarta saya juga menemukan orang-orang yang sudah secara ekonomi terpuruk, mulutnya jahat pula. Selain mudah tersinggung, tak pernah mau memberi, dan setiap kali ada kesempatan selalu mengambil lebih dulu. Setiap kali ada antrian pemberian mereka selalu menyerobot dan mengerahkan semua anggota keluarga untuk berebut.  
   
Mereka ini sebenarnya sama miskinnya dengan orang-orang kaya yang terbelenggu dengan gaya hidup hedonis. Mereka tidak punya budaya memberi, bahkan kedatangannya selalu menyedot energi milik orang lain.
    
Di Pesantren SPMAA di Desa Turi Lamongan saya mengirim mahasiswa-mahasiwa MMUI untuk tinggal beberapa hari, bukan untuk belajar Ilmu Manajemen, melainkan untuk belajar berbagi. Pesantren ini tidak kaya materi, tetapi mereka punya hati mulia untuk memberi. Untuk makan saja mereka tidak berlebih, tetapi semua orang bisa menikmati kasih sayang.   
  
Di Sanggar Akar Jakarta, saya menemukan komunitas anak-anak jalanan yang untuk makan sehari-hari tidak berlebih, tetapi mereka bisa berkesenian, menjual pertunjukan teater kepada perusahaan-perusahaan, dan bernyanyi gembira. Anak-anak ini dulu dikumpulkan oleh Romo Sandyawan karena mereka menjadi korban “Operasi Esok Penuh Harapan” yang menganggap mereka sebagai “sampah kota”.   
  
Di Bandara Juanda saya pernah bertemu dengan seorang biksu yang memberi nasehat seorang ibu yang tengah menderita karena suaminya sedang sakit keras. Pesannya, “Nyonya, banyak-banyaklah berderma.” Si ibu terbengong, ia tidak bisa memahami bagaimana orang susah justru diminta berderma. Namun belakangan saya mendengar ibu itu menyerahkan sebagian besar hartanya kepada orang-orang miskin beberapa saat sebelum suaminya meninggal dunia.

Melepas Kesulitan

Di Bab penutup buku The Power Of Giving yang ditulis oleh Azim Jamal dan Harvey McKinnon, saya membaca kalimat ini: “One of the best gifts you can give children is to teach them the beauty of giving.” 

Setiap anak bisa diajarkan memberi selagi mereka kecil. Mulai dari memberi perhatian, senyum, ucapan-ucapan yang membesarkan semangat, kalimat-kalimat positif, uluran tangan, kata terima kasih, memberi perhatian, empati, mendengarkan, doa, dan seterusnya. Orang yang memberi adalah orang-orang yang kaya dan bahagia. Ibu yang tengah menderita karena suaminya sakit keras, menyatakan, “memberi membuat beban saya tersalurkan, hidup saya lebih indah dan membuat saya melupakan kesulitan.”

Memberi bagi orang miskin adalah sebuah penyembuhan dan membuat hidup lebih baik karena hanya dengan kebaikan berbuahlah kebaikan.

Sourse :
Jawa Pos, 8 Januari 2011, by Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...