Beberapa
waktu lalu pada ulasan Competitor Intelligence, Part I Kita dapat menemukan adanya sebuah benang
merah bahwa hampir semua sektor industri melakukan aktifitas pengumpulan
informasi demi kelangsungan hidup industri itu sendiri. Rasanya tidak
berlebihan bila dapat dikatakan dalam
denyut nadi sebuah perusahaan, disadari atau tidak, melakukan aktifitas
“spionase / intelijen”.
Sebelum Kita
masuk dalam pokok bahasan utama tentang salah satu aktifitas seseorang yang
bekerja di dunia marketing product etichal (obat-obatan /farmasi) yaitu Survey
Apotek, kiranya Kita terlebih dahulu memahami tentang intelijen secara garis
besar. Ulasan berikut ini disarikan dari berbagai sumber terkait dunia spionase
/ intelijen.
“…..Intelijen bukanlah sosok yang menyeramkan dan misterius. Sesuai
dengan makna dasarnya “intelligent” adalah kecerdasan’. Seorang intelijen seharusnya adalah sosok yang cerdas dalam
menjalankan tugasnya. Kecerdasan ini sangat diperlukan karena bidang tugas
intelijen akan lebih banyak bertumpu pada analisis beragam informasi untuk
memperoleh prediksi yang cepat dan akurat yang selanjutnya menjadi input
penting pengambilan kebijakan ataupun dukungan kebijakan….”
Demikian diungkapkan oleh Bpk. As’ad Said Ali dengan judul Jendela Baru Dunia
Intelijen Perlunya Pendekatan Ilmiah Dalam Memprediksi Ancaman Nasional, dalam Orasi
Ilmiah Wakil Kepala BIN pada acara Wisuda Mahasiswa STIN Tahun 2009.
Smart
intelligence menjadi pilihan paradigma dalam menghadapi ancaman yang semakin
kompleks. Pada konteks kekinian, human intelligence masih menjadi yang utama
dalam aktivitas intelijen. Memang dengan perkembangan teknologi, human
intelligence harus dipadukan dengan
intelligence technics (baca : intelligence devices), sehingga pada aras early
detection, early warning maupun forecasting menjadi optimal dalam rangka menjalankan
tugasnya.
Salah seorang
yang patut diduga menjadi “Master Spy” di Indonesia yang dalam sebuah blog
memperkenalkan diri dengan nama “Senopati Wirang” menyebutkan ada 4 Prinsip
Dasar seorang intel / agen. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, berani tidak dikenal
Seorang intel sejati tidak akan pernah menampilkan jati dirinya yang
sebenarnya kepada siapapun termasuk keluarganya. Mungkin diantara Kita ada yang
pernah melihat sebuah film yang berjudul True
Lies, dalam film tersebut dikisahkan bahwa seorang agen NSA dimana sang
istri dan anaknya tidak mengetahui pekerjaan sebenarnya dari sang kepala rumah
tangga.
Terkait dalam dunia industri, Kita mungkin pernah mendengar atau membaca
bagaimana Jepang “mencuri” ilmu dan teknologi dari negara-negara Barat untuk
mengejar ketertinggalannya dalam ilmu dan teknologi pasca Perang Dunia II.
Informasi yang didapat secara informal dalam pendalaman/pengalian dari informasi
yang diperlukan, terkadang atau bahkan lebih sering akurat daripada dilakukan
secara formal. Penggalian informasi yang dilakukan dengan gaya santai / rileks
sambil ngobrol kesana kemari dengan diiringi pendekatan pertemanan / persahabatan
akan lebih mudah mendapat data yang akurat termasuk dari sisi psykologis sang
pemberi informasi (bahasa tubuh sang pemberi informasi, ingatan informan dll).
Dengan keahlian, keterampilan dan seni dalam menggali informasi, Kita dapat
mendapatkan informasi yang diperlukan dengan tanpa disadari oleh lawan bicara
(target informan/sumber).
Informasi yang didapat akan relatif sulit dan terasa ada “jarak” terbentang bila sang “calon korban/informan”
menyadari bila dirinya sedang “digali” informasinya. Apalagi pada tahap
pendalaman/penggalian informasi, Sang Pencari Informasi mengutarakan maksud dan
tujuan aktifitas yang dilakukannya. Contohnya untuk hal tersebut di atas adalah
marketing research yang menggunakan quisioner. Atau dapat juga dalam
pendalaman, Kita menggunakan alat tulis/alat perekam untuk mencatat berbagai
hal yang didapat dalam aktifitas penggalian informasi.
Dalam dunia intelijen terutama di beberapa negara yang telah memiliki
system intelijen yang mapan, kematian seorang agen (yang sedang bertugas maupun
tidak) tidak pernah diberitakan secara terbuka. Kematian seorang agen hanya
dilakukan upacara sebagai mana umumnya yang berlaku. Tidak ada upacara
khusus yang dilakukan oleh aparat
terkait. Sebagai contoh, yang cukup
menarik, gugurnya seoarang agen CIA hanya ditandai dengan tanda bintang pada
dinding disalah satu dinding markas besar CIA di Virginia Amerika
Serikat. Kematian seorang agen terkadang disangkal dengan sebuah penyangkalan
yang masuk akal, terutama bila identitas seorang agen diketahui oleh pihak
lawan.
Untuk point kedua ini terkait dengan aktivitas competitor intelligent di
dunia industri sudah mulai terjadi namun dengan sedikit improvisasi. Memang
dalam aktivitas competitor intelijen di dunia industry tidak sampai
mengorbankan nyawa.
Saat ini mulai ada kecendrungan untuk menyusupkan agen (karyawan)
untuk bekerja di perusahan yang menjadi competitor. Tugas sang penyusup
tersebut adalah untuk mendapatkan data-data vital dari perusahaan pesaing,
misalnya : data proses produksi, data customer, data keuangan dan lain
sebagainya. Bila semua data yang diperlukan telah didapat maka sang agen akan
mengajukan resign dan dia akan kembali ke perusahaan tempat dia bekerja.
Karyawan yang bertugas seperti seorang agen intelijen seperti di atas sangat
berbeda dengan seorang karyawan yang disebut dengan istilah “kutu loncat”.
Seorang “kutu loncat” dia bekerja secara mandiri dan bekerja dengan tujuan demi
dirinya sendiri (karier dan financial). Sementara seorang karyawan yang
ditugaskan sebagai “agen” yang disusupkan pada perusahaan kompetitor dia bekerja
untuk perusahaan awal dimana dia bekerja meski secara “administrative” dia
telah mengundurkan diri. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi dan mungkin saat
ini masih terus berlangsung.
Ketiga, berhasil tidak dipuji
Ya.. Bila berhasil tidak pernah dipuji atau bahkan dirayakan. Karena
kaidah dasar dari dunia intelijen adalah ketertutupan, tersembunyi dan senyap
meski dilakukan di lingkungan sekitar
yang ramai dan tetap menjalin hubungan dengan individu-individu yang ada
di dalamnya.
Keempat, gagal dicaci maki
Kegagalan dalam mengumpulkan dan menganalisa informasi yang diperlukan
akan berdampak sangat signifikan dalam mengambil sebuah keputusan. Sebuah
keputusan yang salah akibat dari gagalnya dalam mengumpulkan dan menganalisa
informasi yang penting dapat berdampak negatif dan destruktif bagi sebuah
negara atau institusi.
Sejarah telah mencatat kegagalan Amerika Serikat dalam keputusannya
untuk menginvasi Irak, terkait dengan kegagalan badan-badan intelijennya untuk
mengumpulkan dan menganalisa informasi tentang keberadaan pihak-pihak yang
dianggap bertanggung jawab pasca tragedi 911 yang meruntuhkan gedung WTC di New
York.
Dalam dunia industri pun dapat juga terjadi hal demikian seperti yang
tersebut di atas. Bagi “para agen” di dunia industry, kegagalan dalam
mengumpulkan dan menganalisa informasi akan berakibat fatal bagi “sang agen”.
Bukan caci maki saja yang didapat, demosi jabatan atau bahkan “permintaan untuk
mengundurkan diri” dapat saja terjadi.
Sebagai penutup, mari kita simak clip berikut ini :
Sebagai penutup, mari kita simak clip berikut ini :
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar