Halaman Muka

Minggu, 23 Desember 2012

Akar Rasa Hormat Bawahan

”Kemampuan seseorang tidak tercermin pada jabatan yang disandangnya, melainkan dalam tindakan aktualnya sehari-hari.”

Source: leadershippost.com
Salah satu tantangan dalam kepemimpinan adalah bagaimana caranya membuat orang-orang menaruh rasa hormat kepada pemimpinnya. Memang, ada banyak pemimpin berwibawa yang benar-benar dihormati oleh bawahannya. Tetapi, lebih banyak lagi pemimpin yang diremehkan. Khususnya di lembaga-lembaga yang tidak terkungkung oleh senioritas.  Siapapun berhak dan bisa meraih jabatan tertentu tanpa harus ‘mengantri’ terlebih dahulu. Ada baiknya memang. Sehingga proses promosi bisa benar-benar mengandalkan kemampuan aktual. Sayangnya rasa hormat bawahan tidak bisa begitu saja muncul. Seorang pemimpin harus memiliki suatu standar kualitas pribadi yang memadai untuk menjadikan orang lain bersedia menghormatinya.

Beberapa hari lalu saya menemani anak lelaki kami untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat suatu cabang ilmu beladiri. Hitam. Itulah warna sabuk yang didambakan semua orang. Seingat saya, tidak mudah untuk mendapatkan sabuk hitam itu. Namun sekarang,  anak kelas 5 SD pun sudah banyak yang menyandang Sabuk Hitam. Tetapi, melihat kemampuan mereka menunjukkan jurus-jurusnya, saya yakin; orang dewasa seperti Anda yang tidak memiliki sabuk ilmu beladiri khusus pun dapat menjatuhkan mereka tanpa kesulitan berarti. 

Jika warna sabuk itu dianalogikan sebagai tingkatan atau jabatan seseorang, maka pada hari itu saya kembali diingatkan bahwa; kemampuan seseorang tidak tercermin pada jabatan yang disandangnya, melainkan dalam tindakan aktualnya sehari-hari. Anak saya dan teman-temannya sangat terobsesi dengan warna sabuknya. Sama seperti obsesi kita dikantor untuk mendapatkan jabatan. Bedanya, anak-anak tidak dituntut untuk menunjukkan kemampuan aktual. Sedangkan orang dewasa seperti kita pasti akan dilecehkan jika tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan yang disandangnya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya membangun kemampuan yang layak untuk dibanggakan, saya ajak memulainya dengan mempraktekkan 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Berfokuslah pada peningkatan kemampuan. 
Jika seseorang menduduki jabatan tinggi, orang lain ‘tampaknya’ respek kepadanya. Saya sengaja menggunakan kata ‘tampaknya’ untuk menekankan bahwa itu adalah respon yang kita dapat ketika orang-orang itu sedang berada didepan sang pejabat. Mengapa begitu? Karena banyak orang yang respek didepan, namun melecehkan dibelakang. 

Sebaliknya, sangat jarang orang yang berani melecehkan seseorang yang memiliki kemampuan tinggi. Didepan atau dibelakang mereka merasa segan. Ini menunjukkan bahwa manusia itu cenderung lebih respek kepada kemampuan, bukan kepada jabatannya. Anak-anak itu saling mengagumi sabuk temannya yang lebih tinggi, bukan mengagumi diri temannya. 

Tetapi kepada guru besar perguruan itu, semua orang merunduk dalam penghormatan tertinggi meskipun beliau tidak sedang mengenakan sabuk apapun. Orang-orang dengan kemampuan tinggi selalu mendapatkan respek yang lebih tulus, daripada mereka yang sekedar memiliki jabatan. Oleh sebab itu, berfokuslah kepada peningkatan kemampuan. Karena dengan kemampuan yang tinggi itu, kita berpeluang mendapatkan rasa hormat dari orang-orang yang kita pimpin.

2. Asahlah kemampuan itu setiap hari. 
Anak-anak yang mengikuti ujian kenaikan tingkat itu latihan 1 atau 2 kali dalam seminggu. Bisa dibayangkan, hanya dengan latihan 20 hingg 50 kali latihan, mereka bisa mengikuti ujian kenaikan tingkat. Mereka memang memenuhi syarat minimal untuk lulus, sehingga berhak menyandang sabuk lebih tinggi. Namun, ilmu mereka tidak mungkin menyamai Sang Guru Besar. Mengapa? Karena beliau latihan setiap hari. Selain melatih orang lain, beliau memiliki sesi latihan pada jadwal-jadwal yang orang lain tidak mengetahuinya. 

Jika anak-anak itu mengejar warna sabuk, maka Sang Guru Besar tengah berjalan menuju kesempurnaan. Begitu juga dengan kemampuan kepemimpinan kita yang butuh dilatih setiap hari. Semakin banyak Anda berlatih, kwalitas kepemimpinan Anda juga semakin canggih. Sayangnya, banyak orang yang mengira jika sudah menjadi pemimpin boleh kerja lebih santai. Bahkan saya pernah mendengar seorang ‘pemimpin’ berkata begini; ”...Untuk level pimpinan seperti saya, ada lebih banyak waktu luang…” 

Sungguh bertolak belakang dengan prinsip Sang Guru Besar; “semakin tinggi tingkatan sabukmu, maka semakin besar tanggung jawabmu untuk menunjukkan bahwa engkau benar-benar pantas menyandang sabuk itu.” Maka, asahlah terus kwalitas kepemimpinan Anda setiap hari. Karena jika kemampuan Anda tumpul; tidak akan ada rasa hormat dari orang-orang yang Anda pimpin.


3. Pimpinlah orang-orang yang paling sulit diatur. 
Jika Anda menyukai kisah-kisah dunia persilatan klasik, tentu Anda tahu jika zaman dahulu, orang-orang sakti senang saling menantang. Para pendekar bertarung untuk menentukan apakah seseorang benar-benar pantas untuk disebut sebagai jawara kelas satu. Zaman sekarang, pertarungan seperti itu sudah tidak lazim lagi. Para pendekar dari berbagai aliran tidak lagi tertarik bertarung hanya untuk membuktikan siapa yang paling berhak disebut sebagai Guru Besar. Mereka puas dengan gelar perguruannya masing-masing. Justru pertarungan serupa itu sudah begeser ke sebuah arena bernama ‘Kantor’. 

Jika Anda mendapat promosi, maka teman Anda mempertanyakan; benarkah Anda layak untuk mendapatkan posisi itu? Pertaruangan jawara modern berbeda dengan masa ilmu kedigdayaan diagung-agungkan. Sekarang, orang tidak menantang bekelahi; melainkan menantang Anda untuk menunjukkan kwalitas kepemimpinan itu dalam menghadapi orang-orang yang sulit diatur. Oleh karenanya, para penantang itu bisa menjelma menjadi ‘difficult people’. Dan karena mengelola orang adalah inti dari sebuah kepemimpinan, maka kemampuan Anda dalam menangani orang-orang sulit itu memperlihatkan tingkatan kwalitas kepemimpinan Anda sebenarnya. 

Maka jika Anda berhadapan dengan orang-orang yang sulit diatur, janganlah pernah mengeluh. Justru bersama mereka itu, Anda berpeluang membangun reputasi kepemimpinan yang melegenda.

4. Lahirkanlah inovasi dalam kepemimpinan. 
Para suhu dan guru besar itu tidak menurun kemampuannya meskipun usia mereka semakin senja. Secara fisik mungkin memang tenaga mereka berkurang. Tetapi secara mental spiritual, kualitas mereka semakin tidak tertandingi. Lebih dari itu, ada satu ciri guru besar ilmu kedigdayaan mumpuni, yaitu; mereka memiliki sebuah ilmu pamungkas yang canggih. Ilmu itu tidak dimiliki oleh orang lain. Mengapa? Karena mereka sendirilah yang mengembangkannya. Dalam terminologi modern, itu disebut sebagai inovasi. Maka para pemimpin modern pun sepantasnya melahirkan sebuah inovasi kepemimpinan yang dikembangkannya sendiri. Jika tidak, dia akan menjadi ordinary leader. 

Di zaman dahulu, ordinary guru itu sudah pasti binasa ditangan lawan. Di zaman modern, ordinary leader itu hanya akan menjadi bahan tertawaan bawahan. Jika ilmu kita melampaui orang-orang yang kita pimpin, maka tak seorang pun akan sanggup merongrong kepemimpinan kita. Meski mereka ingin melakukannya, namun mereka tidak akan mampu mewujudkannya. 

Maka, jika saat ini Anda sudah menduduki posisi sebagai pemimpin – dalam level manapun – maka pastikanlah bahwa Anda memiliki ilmu pamungkas yang Anda miliki dari hasil eksperimen dan inovasi Anda sendiri. Singkatnya, Anda harus lebih berilmu daripada orang-orang yang Anda pimpin. Karena ilmu, bisa melindungi Anda dari terpaan apapun yang datang dari luar.

5. Kenalilah kesejatian diri. 
Pada tahap tertentu dalam kehidupannya, para pendekar dalam kisah-kisah persilatan biasanya akan menarik diri dari dunia luar. Setelah sedemikian banyaknya ‘kontak’ yang mereka buat dengan orang-orang dari berbagai macam tempat, situasi, dan aliran, pada akhirnya mereka hanya akan menghabiskan hidupnya dalam keadaan bersila, sambil memejamkan mata. Inilah tahapan terakhir yang dilakukan oleh para guru dalam menemukan kesejatian dirinya. Mereka akhirnya menyadari bahwa inti dari semua aliran ilmu beladiri adalah ‘mengenali diri sendiri’.  

Dalam kepemimpinan modern pun demikian. “Self leadership,” adalah inti dari prinsip kepemimpinan apapun yang kita terapkan. Memimpin diri sendiri. Jika kita bisa memimpin diri sendiri dengan baik, maka kita akan bisa memimpin orang lain dengan keteladanan. Betapa banyak pemimpin yang menuntut anak buahnya disiplin misalnya, tetapi dia sendiri seenaknya saja. 

Banyak juga pemimpin yang menyerukan anak buahnya untuk bekerja keras, namun dia sering menghilang dari ‘medan pertempuran’. Itu adalah tanda-tanda yang jelas jika mereka belum menemukan kesejatian diri sendiri. Padahal, seorang pemimpin hanya akan bisa memimpin orang lain dengan baik, jika dan hanya jika dia bisa memimpin dirinya sendiri. Karena setiap pribadi adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, maka memimpin diri merupakan fondasi bagi kepemimpinan modern. Dan seseorang, hanya bisa memimpin dirinya jika dan hanya jika dia mengenali dirinya sendiri dengan baik.

Banyak orang yang hanya sekedar berambisi untuk merebut jabatan dan posisi-posisi penting. Tapi mereka lupa membekali dirinya sendiri dengan kemampuan yang memadai untuk menjalankan amanah kepemimpinannya. Padahal, kepemimpinan itu bukan sekedar tentang gaji tinggi dan fasilitas yang menyenangkan. Melainkan amanah yang wajib untuk ditunaikan. 

Bukan hanya respek orang lain yang tidak bisa kita dapatkan kalau kita gagal mengemban amanah itu. Melainkan juga tentang betapa sulitnya kita membuat laporan pertanggungjawaban dihadapan pemimpin tertinggi seluruh umat manusia. Sedangkan kemampuan dan keteladan kita dalam memimpin diri sendiri, merupakan akar bagi rasa hormat bawahan. Sekaligus modal terbesar kita untuk menghadapi hari ketika setiap amanah kepemimpinan dimintai pertanggungjawaban.


"....Kejarlah jabatan, maka Anda akan kelelahan mengendalikannya. Tapi, kejarlah kemampuan, maka jabatan akan mengantri mendatangi Anda...."


Source:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...