Halaman Muka

Sabtu, 01 Desember 2012

Operasi Caesar

Proses melahirkan secara operasi caesar ternyata lebih berbahaya dibandingkan proses bersalin normal. Media Dailymail mewartakan, Rabu (1/8), menurut sebuah penelitian, satu dari sepuluh wanita terkena infeksi pascamelahirkan caesar, sehingga mereka perlu dirawat lebih lama. 

Dr Catherine Wloch dari Departemen Kesehatan dan Infeksi Associated Antimicrobial Resistance, di HPA, London, Inggris, mengatakan, "meskipun infeksi bagian paling caesar lukanya tidak serius, infeksi tersebut akan berakibat pada sistem kesehatan si ibu kemudian hari." 

Para ahli kedokteran mempetingatkan, caesar harus dilakukan hanya bila benar-benar diperlukan karena risiko infeksi sangat tinggi. Kelahiran yang memerlukan operasi caesar adalah melahirkan kembar, ibu hamil dengan tekanan darah tinggi, atau diabetes yang berarti bahwa kelahiran alami akan berisiko tinggi. 

Sebanyak satu dari sepuluh ibu hamil menderita rasa takut melahirkan yang dikenal sebagai tokophobia. Untuk beberapa itu hanya sebuah fobia irasional, tetapi pada orang lain itu dipicu oleh trauma persalinan sebelumnya. 

Di bawah bimbingan Lembaga Kesehatan Inggris, wanita yang meminta operasi caesar karena mereka gelisah pertama akan diberikan konseling. Jika gagal untuk menghilangkan ketakutan mereka, mereka akan diizinkan untuk memilih operasi. Tingkat kelahiran dengan caesar meningkat dua kali lipat sejak 1990. Saat ini, proses kelahiran tersebut menyumbang hampir seperempat dari semua kelahiran di dunia. 


Ada perbedaan pendapat yang berbeda-beda di antara para calon orang tua soal pilihan cara melahirkan melalui operasi caesar. Kaum Lelaki ada yang merasa “diuntungkan” dengan operasi itu. Sebaliknya, banyak Kaum ibu yang merasa belum sempurna bila tidak pernah merasakan pengalaman melahirkan anak secara alami. Ada juga dokter yang menyarankan untuk melahirkan anak ke-3 dengan cara operasi caesar. Salah satu pertimbangannya adalah   keluarga yang berencana langsung melakukan operasi sterilisasi usai melahirkan. 

Resiko dalam operasi caesar, seperti yang dialami seorang ibu, dia mangalami cateter urine yang terpasang agak macet, kantung kemih membengkak. Hari berikutnya, di sekitar vulva terus-menerus terasa basah. Setelah diperiksa dengan teliti, ternyata telah terbentuk satu fistula (semacam saluran antara kantung kemih dan vagina, vesico vaginalis ). Dari hasil konsultasi dengan urolog diputuskan untuk dilakukan operasi koreksi. Fistula pun berhasil diangkat. Namun, pada saat penyembuhan justru terdapat dua fistula di dekat fistula yang sudah diangkat. Operasi koreksi dilakukan lagi. Setelah sembuh ternyata fistula masih tetap bercokol. Sang urolog pun angkat tangan. 

Berbulan-bulan Ibu itu menderita karena fistula. Berbungkus-bungkus pamper (pembalut) telah dihabiskannya. Tanpa bahan penyerap ini urinenya akan membasahi tempat tidur atau tempat duduknya. Penderitaan berkepanjangan itu baru berakhir setelah seorang urolog dari Jerman berhasil melakukan operasi pengangkatan fistula. 

Pengalaman di atas memang amat jarang terjadi. Namun, kejadian itu bisa menggambarkan bahwa teknik operasi, yang namanya diambil dari nama kaisar Romawi yang lahir dengan pembedahan, Julius Caesar, ini tak sepenuhnya aman. Ada kalanya, operasi untuk mengeluarkan bayi ini menyisakan masalah baru yang tak terduga. Sebaliknya, perlu diakui pula operasi caesar telah banyak menyelamatkan jiwa ibu yang mengalami kesulitan melahirkan. 

Perkembangan operasi caesar 
Sejalan dengan makin majunya perkembangan ilmu kedokteran, bidang teknik pembedahan, anestesi, dan perineonatologi (bidang yang menangani janin berusia 28 minggu sebelum dilahirkan hingga 28 minggu usai dilahirkan), yang berkaitan dengan bedah caesar juga ikut maju pesat. Dalam bidang teknik pembedahan, kini frekuensi ibu yang bisa menjalani operasi caesar dengan aman telah meningkat menjadi empat kali semasa hidupnya. Padahal, sebelumnya hanya bisa tiga kali. 

Arah sayatannya pun berkembang. Dulu hanya dikenal teknik operasi caesar klasik ( corpora ) dengan sayatan membujur dari bawah pusar ke arah tulang kemaluan. Kini sayatan bisa melintang dari kiri ke kanan di atas tulang kemaluan ( trans profunda ). Secara estetis, teknik pembedahan baru ini lebih baik. Pada teknik operai corpora bila hendak mandi matahari dengan cuma mengenakan bikini, bekas operasi dengan sayatan klasik akan tampak pada perut. Sedangkan dengan sayatan trans profunda bekas operasi bisa disembunyikan dari pandangan umum. Luka bekas operasi juga bisa dimanipulasi  agar tidak tampak. Caranya, dengan teknik penjahitan yang sering digunakan oleh ahli bedah plastik. 

Dalam bidang pembiusan ( anestesia ), dulu sering digunakan aether yang berbau merangsang tidak kepalang. Bahkan, bau ini tetap terasa hingga pascaoperasi. Akibatnya, penderitanya mual-mual dan hilang nafsu makan. Kini, telah dikembangkan beberapa obat bius baru yang tidak berbau dan yang bisa disuntikkan langsung ke pembuluh darah atau tulang belakang. Dulu pembiusan juga dilakukan secara menyeluruh, sehingga pasien jadi tergeletak tak sadarkan diri. Kini, pembiusan ini bisa dibuat macam pas foto, hanya setengah badan di bawah pusar. Jadi, yang dibius bisa tetap sadar dan bisa mendengarkan gemerincingnya peralatan bedah yang dipilih atau diletakkan oleh tim bedah selama operasi berlangsung. Si ibu pun bisa mendengar tangisan pertama si bayi yang telah diangkat dari rahimnya. 

Dalam bidang perineonatologi juga terjadi perkembangan menarik. Misalnya, bayi yang dilahirkan dengan bobot badan 500 g kini dapat diselamatkan. Bayi prematur yang umumnya mengalami gangguan pernapasan ( respiratory distress syndrome ) karena kekurangan surfactan subtance (lipoprotein yang memungkinkan paru-paru berkembang selama bernapas) pun kini bisa diselamatkan dengan preparat surfactan subtance , meski untuk itu pasien atau keluarganya mesti merogoh kantung lebih dalam. 

Seiring dengan majunya bidang-bidang yang berkaitan dengan operasi caesar, kriteria perlu tidaknya suatu persalinan melalui operasi caesar juga ikut berkembang. Dalam proses persalinan terdapat tiga faktor penentu, yakni power (tenaga mengejan atau kontraksi otot dinding perut dan dinding rahim), passage (keadaan jalan lahir), dan passenger (si janin yang akan dilahirkan). 

Pada awalnya indikasi operasi caesar hanya karena ada kelainan passage , sehingga kelahiran tidak bisa melalui jalan yang benar, vagina. Namun, akhirnya merambat ke faktor 3P lainnya, yakni power dan passenger . Kelainan power yang memungkinkan dilakukannya operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga. Soal kelainan passenger di antaranya anak terlalu besar, anak “mahal”, anak dengan kelainan letak lintang, premi gravida di atas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita foetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah). 

Sementara itu kelainan passage yang membuat operasi caesar bisa dilakukan tidak cuma terbatas pada sempitnya panggul, tapi bisa juga lantaran diduga akan terjadi trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak. Atau, adanya infeksi di jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin ( herpes genitalis ), condyloma lata (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B, dan hepatitis C. 

Indikasi lain yang sulit dipercaya tetapi nyata dan hampir atau sama sekali tidak berhubungan dengan 3P, di antaranya karena ibu tidak ingin keadaan vaginanya agak longgar, atau karena terlalu sayang pada anak sehingga tidak tega membiarkan anak menunggu lahir atau bersusah payah “mendobrak” jalan lahir. Atau, karena percaya adanya hubungan antara saat kelahiran dengan perjalanan nasib. Nasib seakan-akan bisa diatur dengan merekayasa waktu persalinan. 

Jalan lahir jadi tak teruji 
Terlepas dari apakah indikasi operasi caesar wajar atau tidak, tindakan medis ini bisa menguntungkan, bisa pula merugikan. Menguntungkan, apabila tindakan ini dilakukan dengan pertimbangan tepat dan didukung data objektif lainnya. Umpamanya, diagnosis kesempitan panggul atau foetal distress didukung data pelvimetri dan rekaman jantung anak yang akurat. Sulitnya bagi penderita atau keluarganya, tidak semua indikasi caesar mudah dibuktikan. Tidak jarang seorang dokter menentukan indikasi tindakan berdasarkan firasat dan perasaannya (dalam hal ini, kepercayaan menjadi dasar terpenting dalam hubungan penderita dan dokternya). Misalnya, ada dugaan bakal terjadi trauma kelahiran lebih serius pada ibu atau anak setelah proses persalinan. 

Yang merugikan pada operasi caesar tidak cuma terjadi pada sang ibu, tetapi juga pada anak yang dilahirkan. Pada anak, pembiusan yang terlalu lama (semula dimaksudkan untuk membius sang ibu) bisa membuat anak ikut terbius. Akibatnya, anak yang dilahirkan tidak spontan menangis melainkan harus dirangsang sesaat untuk bisa menangis. Kelambatan menangis ini mengakibatkan kelainan hemodinamika dan mengurangi apgar score (penilaian) terhadap anak. Pengeluaran lendir atau sisa air ketuban di saluran napas anak juga tidak sempurna. Pada persalinan alamiah, tubuh bayi harus melalui lorong jalan lahir sempit seakan-akan dadanya diperas sehingga sisa cairan dalam saluran napas terperas keluar. 

Dengan operasi caesar, bayi yang dilahirkan selalu dibayangi penyakit hyalin membrane disease (HMD). Kemungkinan terjadinya trauma persalinan juga ada. Sayatan terlampau dalam bisa mengakibatkan tubuh bayi ikut tersayat. Di samping itu, pada persalinan alamiah anak akan melewati vagina yang dalam keadaan normal mengandung bakteri dan jamur. Pada tubuh ibu sehat sudah terkandung antibodi terhadap antigen asing itu dan secara pasif membagikan sebagian antibodinya kepada janin. Pada persalinan alamiah sistem kekebalan tubuh janin segera dan langsung terpapar ulang antigen yang sama sehingga respons kekebalannya akan secara aktif lebih cepat membentuk antibodi dan secara bertahap diperkenalkan dengan antigen lain di sekitarnya. Pada persalinan lewat bedah caesar, proses ini tidak terjadi karena bayi berhadapan langsung dengan lingkungan steril. 

Yang merugikan ibu bila persalinan dilakukan dengan operasi caesar juga tak sedikit. Yang pasti ibu akan mendapat luka operasi baru di perut dan kemungkinan timbulnya infeksi bila luka operasi tidak dirawat dengan baik. Ibu juga akan membatasi pergerakan tubuhnya karena adanya luka operasi tadi, sehingga proses penyembuhan luka dan pengeluaran cairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu setelah melahirkan ikut terpengaruh. 

Kemampuan jalan lahir juga tidak teruji bila ibu belum pernah melahirkan per vagina dan keadaan penyempitan panggul berada dalam batas perkiraan yang meragukan. Apalagi kalau anak yang dilahirkan tidak terlalu besar, mungkin bobotnya cuma 2.500 – 4.000 g. Waktu pemulihan pasca-melahirkan juga lebih lama karena pemulihan bekas luka operasi memerlukan tempo lebih lama. Bahkan, ibu berpeluang mendapatkan efek sampingan yang tidak diharapkan seperti bekas parut luka operasi di perut yang tidak estetis, infeksi pascapersalinan dan fistula. 

Adanya parut luka di rahim akan membatasi jumlah tindakan operasi caesar sehingga jumlah anaknya juga akan terbatas. Karenanya tindakan pembedahan pada rahim mestinya sangat dibatasi dan hanya dilakukan bila perlu. Terakhir, setiap tindakan manipulasi rongga perut akan mengakibatkan perlekatan antar organ dalam rongga perut. Ini menghalangi lapangan operasi berikutnya atau perlu waktu lebih lama karena operator harus membersihkan lapangan operasi dari perlekatan itu. 

Bagi masyarakat, setidaknya ada tiga aspek yang merugikan akibat adanya operasi caesar. Kalau tindakan ini kurang tepat sasaran, sebagian dana produktif harus dipakai untuk mendanai sesuatu yang berada di luar perencanaan. Sebagian dana masyarakat tersedot untuk investasi di rumah sakit, operasi caesar seyogyanya dilakukan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan dan SDM (sumber daya manusia) untuk itu. 


Source:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...