Halaman Muka

Minggu, 05 Mei 2013

DOKTER JUGA MANUSIA


by Olivia Listiowati Prawoto

Profesi dokter adalah profesi yang tidak henti-hentinya disorot. Hampir setiap hari dapat kita baca berita mengenai profesi yang satu ini, sayangnya sebagian besar yang ditampilkan adalah berita-berita mengenai ketidakbecusan dokter dalam menangani pasien, pasien yang melapor karena menjadi korban “malpraktik”, rumah sakit yang dikatakan menolak pasien, dan pada akhirnya akan ditarik kesimpulan ORANG MISKIN TIDAK BOLEH SAKIT. Meskipun dikatakan betapa sulitnya menjadi dokter, setiap tahunnya beribu-ribu orang berebut masuk ke fakultas kedokteran dengan biaya yang fantastis. Jadi bagaimanakah sebenarnya perjalanan seseorang hingga dapat menjadi penyembuh yang tidak boleh salah ini?

Menjadi mahasiswa fakultas kedokteran adalah suatu kebanggaan, apalagi fakultas kedokteran yang terpandang, di mana untuk masuk harus menyisihkan ribuan pendaftar. Apakah benar masuk fakultas kedokteran selalu mahal sehingga ditebus dengan menarik biaya tinggi setelah lulus? Hal itu tidak sepenuhnya benar. Mahasiswa kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2010 yang lulus lewat jalur SNMPTN cukup membayar uang masuk Rp 1.032.500 dan SPP Rp 1.250.000 setiap semesternya.

Selepas euforia diterima di FK, mulailah seorang mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu-ilmu dasar sebagai landasan untuk kemudian mempelajari penyakit dan cara-cara pengobatan. Begitu banyak yang harus dilalui mulai dari menahan bau formalin saat praktikum pembedahan cadaver (mayat), merelakan diri untuk saling berlatih mengambil dan memeriksa darah, urin, serta feces, dan kewajiban mengerti serta menghapalkan tumpukan buku kedokteran yang tebalnya ribuan halaman. Semuanya tidak lepas dari pengorbanan para dosen, dokter, dan profesor yang rela meluangkan waktu serta tenaga untuk mengajar mahasiswa mulai dari tingkat paling bawah.

Beberapa gugur, yang lain bertahan, singkat kata, tiga setengah tahun terlewati, dan luluslah dari FK. Apakah sudah selesai? Tidak, perjuangan justru baru dimulai, dengan gelar Sarjana Kedokteran di tangan, para calon dokter mulai bertugas di rumah sakit sebagai dokter muda (DM) atau lazim disebut co-ass.

Seorang co-ass bekerja magang di rumah sakit untuk menangani pasien di bawah pengawasan dokter-dokter lain yang sudah senior, sehingga tidak benar apabila dikatakan pasien menjadi kelinci percobaan. Apabila melakukan kesalahan sedikit saja, dokter muda tidak luput dari sanksi. Seorang dokter muda diwajibkan ada di rumah sakit setiap harinya tidak peduli hari Minggu atau hari raya, juga menjalani jadwal jaga. Jaga di sini berarti tinggal di rumah sakit dan membantu merawat pasien di bangsal semalaman suntuk, seringkali tanpa tidur. Setelah itu masih dilanjutkan dengan mengikuti laporan mengenai kondisi pasien pagi-pagi benar dan bertugas lagi sampai sorenya, sehingga boleh dikatakan hidup seorang dokter muda adalah di rumah sakit dengan jam kerja yang sangatlah panjang, apalagi di rumah sakit seperti RSUD Dr. Soetomo yang menerima ribuan pasien setiap harinya sebagai rujukan Indonesia Timur.

Dokter muda ini harus dijalani selama dua tahun dengan tetap membayar uang kuliah, semuanya itu adalah bagian dari pendidikan profesi yang harus dijalani sebelum layak menyandang gelar “dr.”

Source: kompasiana.com
Setelah selesai menjalani dokter muda, maka para calon dokter ini dihadapkan pada UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia) yang meliputi ujian tertulis dan juga praktik. Apabila lulus, resmilah ia menjadi seorang dokter. Lalu apakah berhenti di situ saja? Ternyata belum, dan di sinilah keprihatinan itu dimulai. Dokter ini harus menjalani internship atau program penempatan ke rumah sakit tipe C dan puskesmas di kota-kota kecil selama setahun. Bukan penempatannya yang menjadi masalah, namun selama menjalani internship dokter ini tidak boleh dulu berpraktik sendiri, ia mengabdi di rumah sakit di mana ia ditempatkan, dengan gaji yang dipukul rata yaitu Rp 1.250.000 dan dibayarkan setiap tiga bulan, jauh di bawah UMR buruh sekalipun. Masih dengan jam kerja yang panjang dan tidak menentu ditambah tanggung jawab kepada pasien, perlu diingat juga bahwa para dokter ini harus menanggung biaya hidup di kota asing yang tentunya tidak sedikit.

Selepas internship, seorang dokter dianggap cukup mumpuni untuk berpraktik sendiri, maka ada beberapa pilihan yang bisa diambil, salah satunya adalah menjalani PTT di daerah-daerah terpencil atau menjalani pendidikan dokter spesialis. Pilihan yang sulit, mengingat meskipun ada begitu banyak daerah terpencil di seluruh Indonesia yang masih kekurangan dokter, namun terpilih menjadi dokter PTT tidaklah mudah dikarenakan terbatasnya kuota. Menjalani pendidikan spesialis juga bukan tanpa konsekuensi. Pendidikan spesialis di Indonesia hampir seluruhnya harus dijalani tanpa gaji, dengan lama pendidikan bervariasi mulai tiga sampai enam tahun. Tanggung jawab dan beban kerja seorang calon spesialis juga jauh lebih berat lagi daripada seorang dokter muda atau dokter internship.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengeluhkan sulitnya menjadi seorang dokter, atau betapa setelah perjuangan panjang itu dokter harus disanjung dan dihormati. Tulisan ini hanyalah untuk mengingatkan bahwa di samping semua itu, seorang dokter tidak dapat bekerja sendiri. Untuk menciptakan sistem kesehatan yang baik dibutuhkan juga dukungan sarana prasarana yang memadai. Oleh karena itu janganlah karena kapasitas rumah sakit yang terbatas, semua pasien miskin boleh berobat gratis, dan rumah sakit tidak boleh menolak pasien, lalu apabila ada yang terpaksa sekali tidak terlayani dengan maksimal lalu semata-mata menjadi kesalahan dokter dan rumah sakit.

Dokter butuh rasa aman dalam bekerja, dan hal itu akan sulit tercapai apabila dalam melakukan tindakan selalu dibayang-bayangi dengan ancaman tuntutan. Kenyataannya manusia adalah makhluk hidup dengan jutaan variasi, sehingga meskipun sudah bekerja sesuai pedoman masih dapat juga terjadi efek yang tidak diharapkan. Meskipun begitu, di kala para buruh berunjuk rasa menuntut kenaikan UMR, apakah pernah kita dengar para dokter protes karena gaji yang tidak memadai, pemberitaan yang tidak berimbang, atau beban kerja yang terlalu berat?

Hargailah perjuangan para dokter yang rela bertugas di daerah terpencil sampai tertular penyakit dan menjadi korban konflik. Dengarkanlah suara para dokter di tengah gencarnya program kesehatan pemerintah. Bagaimanapun dokter akan selalu melayani, sebab semuanya sudah terucap dalam sumpah di atas kitab suci “Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita”


Artikel lain terkait :

 Source :

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...