by Olivia Listiowati Prawoto
Profesi dokter adalah
profesi yang tidak henti-hentinya disorot. Hampir setiap hari dapat kita baca
berita mengenai profesi yang satu ini, sayangnya sebagian besar yang
ditampilkan adalah berita-berita mengenai ketidakbecusan dokter dalam menangani
pasien, pasien yang melapor karena menjadi korban “malpraktik”, rumah sakit
yang dikatakan menolak pasien, dan pada akhirnya akan ditarik kesimpulan ORANG MISKIN
TIDAK BOLEH SAKIT. Meskipun dikatakan betapa sulitnya menjadi dokter, setiap
tahunnya beribu-ribu orang berebut masuk ke fakultas kedokteran dengan biaya
yang fantastis. Jadi bagaimanakah sebenarnya perjalanan seseorang hingga dapat
menjadi penyembuh yang tidak boleh salah ini?
Menjadi mahasiswa fakultas
kedokteran adalah suatu kebanggaan, apalagi fakultas kedokteran yang
terpandang, di mana untuk masuk harus menyisihkan ribuan pendaftar. Apakah
benar masuk fakultas kedokteran selalu mahal sehingga ditebus dengan menarik
biaya tinggi setelah lulus? Hal itu tidak sepenuhnya benar. Mahasiswa
kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2010 yang
lulus lewat jalur SNMPTN cukup membayar uang masuk Rp 1.032.500 dan SPP Rp
1.250.000 setiap semesternya.
Selepas euforia diterima di
FK, mulailah seorang mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu-ilmu dasar sebagai
landasan untuk kemudian mempelajari penyakit dan cara-cara pengobatan. Begitu
banyak yang harus dilalui mulai dari menahan bau formalin saat praktikum
pembedahan cadaver (mayat), merelakan diri untuk saling berlatih mengambil dan
memeriksa darah, urin, serta feces, dan kewajiban mengerti serta menghapalkan
tumpukan buku kedokteran yang tebalnya ribuan halaman. Semuanya tidak lepas dari
pengorbanan para dosen, dokter, dan profesor yang rela meluangkan waktu serta
tenaga untuk mengajar mahasiswa mulai dari tingkat paling bawah.
Beberapa gugur, yang lain
bertahan, singkat kata, tiga setengah tahun terlewati, dan luluslah dari FK.
Apakah sudah selesai? Tidak, perjuangan justru baru dimulai, dengan gelar
Sarjana Kedokteran di tangan, para calon dokter mulai bertugas di rumah sakit
sebagai dokter muda (DM) atau lazim disebut co-ass.
Seorang co-ass bekerja
magang di rumah sakit untuk menangani pasien di bawah pengawasan dokter-dokter
lain yang sudah senior, sehingga tidak benar apabila dikatakan pasien menjadi
kelinci percobaan. Apabila melakukan kesalahan sedikit saja, dokter muda tidak
luput dari sanksi. Seorang dokter muda diwajibkan ada di rumah sakit setiap
harinya tidak peduli hari Minggu atau hari raya, juga menjalani jadwal jaga.
Jaga di sini berarti tinggal di rumah sakit dan membantu merawat pasien di
bangsal semalaman suntuk, seringkali tanpa tidur. Setelah itu masih dilanjutkan
dengan mengikuti laporan mengenai kondisi pasien pagi-pagi benar dan bertugas
lagi sampai sorenya, sehingga boleh dikatakan hidup seorang dokter muda adalah
di rumah sakit dengan jam kerja yang sangatlah panjang, apalagi di rumah sakit
seperti RSUD Dr. Soetomo yang menerima ribuan pasien setiap harinya sebagai
rujukan Indonesia Timur.
Dokter muda ini harus
dijalani selama dua tahun dengan tetap membayar uang kuliah, semuanya itu
adalah bagian dari pendidikan profesi yang harus dijalani sebelum layak
menyandang gelar “dr.”
Source: kompasiana.com |
Setelah selesai menjalani
dokter muda, maka para calon dokter ini dihadapkan pada UKDI (Ujian Kompetensi
Dokter Indonesia) yang meliputi ujian tertulis dan juga praktik. Apabila lulus,
resmilah ia menjadi seorang dokter. Lalu apakah berhenti di situ saja? Ternyata
belum, dan di sinilah keprihatinan itu dimulai. Dokter ini harus menjalani
internship atau program penempatan ke rumah sakit tipe C dan puskesmas di
kota-kota kecil selama setahun. Bukan penempatannya yang menjadi masalah, namun
selama menjalani internship dokter ini tidak boleh dulu berpraktik sendiri, ia
mengabdi di rumah sakit di mana ia ditempatkan, dengan gaji yang dipukul rata
yaitu Rp 1.250.000 dan dibayarkan setiap tiga bulan, jauh di bawah UMR buruh
sekalipun. Masih dengan jam kerja yang panjang dan tidak menentu ditambah
tanggung jawab kepada pasien, perlu diingat juga bahwa para dokter ini harus
menanggung biaya hidup di kota asing yang tentunya tidak sedikit.
Selepas internship, seorang
dokter dianggap cukup mumpuni untuk berpraktik sendiri, maka ada beberapa
pilihan yang bisa diambil, salah satunya adalah menjalani PTT di daerah-daerah
terpencil atau menjalani pendidikan dokter spesialis. Pilihan yang sulit,
mengingat meskipun ada begitu banyak daerah terpencil di seluruh Indonesia yang
masih kekurangan dokter, namun terpilih menjadi dokter PTT tidaklah mudah
dikarenakan terbatasnya kuota. Menjalani pendidikan spesialis juga bukan tanpa
konsekuensi. Pendidikan spesialis di Indonesia hampir seluruhnya harus dijalani
tanpa gaji, dengan lama pendidikan bervariasi mulai tiga sampai enam tahun.
Tanggung jawab dan beban kerja seorang calon spesialis juga jauh lebih berat
lagi daripada seorang dokter muda atau dokter internship.
Tulisan ini bukan
dimaksudkan untuk mengeluhkan sulitnya menjadi seorang dokter, atau betapa
setelah perjuangan panjang itu dokter harus disanjung dan dihormati. Tulisan
ini hanyalah untuk mengingatkan bahwa di samping semua itu, seorang dokter
tidak dapat bekerja sendiri. Untuk menciptakan sistem kesehatan yang baik
dibutuhkan juga dukungan sarana prasarana yang memadai. Oleh karena itu
janganlah karena kapasitas rumah sakit yang terbatas, semua pasien miskin boleh
berobat gratis, dan rumah sakit tidak boleh menolak pasien, lalu apabila ada
yang terpaksa sekali tidak terlayani dengan maksimal lalu semata-mata menjadi
kesalahan dokter dan rumah sakit.
Dokter butuh rasa aman dalam
bekerja, dan hal itu akan sulit tercapai apabila dalam melakukan tindakan selalu
dibayang-bayangi dengan ancaman tuntutan. Kenyataannya manusia adalah makhluk
hidup dengan jutaan variasi, sehingga meskipun sudah bekerja sesuai pedoman
masih dapat juga terjadi efek yang tidak diharapkan. Meskipun begitu, di kala
para buruh berunjuk rasa menuntut kenaikan UMR, apakah pernah kita dengar para
dokter protes karena gaji yang tidak memadai, pemberitaan yang tidak berimbang,
atau beban kerja yang terlalu berat?
Hargailah perjuangan para
dokter yang rela bertugas di daerah terpencil sampai tertular penyakit dan
menjadi korban konflik. Dengarkanlah suara para dokter di tengah gencarnya
program kesehatan pemerintah. Bagaimanapun dokter akan selalu melayani, sebab
semuanya sudah terucap dalam sumpah di atas kitab suci “Saya akan senantiasa
mengutamakan kesehatan penderita”
Artikel lain terkait :
Source :
- Naskah asli Opini, Jawa Pos, Sabtu, 23 Maret 2013, hal 4
- facebook.com/oliviaprawoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar