Halaman Muka

Minggu, 05 Mei 2013

Competitor Intelligence, Part II


Beberapa waktu lalu pada ulasan Competitor Intelligence, Part I  Kita dapat menemukan adanya sebuah benang merah bahwa hampir semua sektor industri melakukan aktifitas pengumpulan informasi demi kelangsungan hidup industri itu sendiri. Rasanya tidak berlebihan bila dapat dikatakan dalam  denyut nadi sebuah perusahaan, disadari atau tidak, melakukan aktifitas “spionase / intelijen”.

Sebelum Kita masuk dalam pokok bahasan utama tentang salah satu aktifitas seseorang yang bekerja di dunia marketing product etichal (obat-obatan /farmasi) yaitu Survey Apotek, kiranya Kita terlebih dahulu memahami tentang intelijen secara garis besar. Ulasan berikut ini disarikan dari berbagai sumber terkait dunia spionase / intelijen.

“…..Intelijen bukanlah sosok yang menyeramkan dan misterius. Sesuai dengan makna dasarnya “intelligent” adalah kecerdasan’. Seorang intelijen  seharusnya adalah sosok yang cerdas dalam menjalankan tugasnya. Kecerdasan ini sangat diperlukan karena bidang tugas intelijen akan lebih banyak bertumpu pada analisis beragam informasi untuk memperoleh prediksi yang cepat dan akurat yang selanjutnya menjadi input penting pengambilan kebijakan ataupun dukungan kebijakan….” Demikian diungkapkan oleh Bpk. As’ad Said Ali dengan judul Jendela Baru Dunia Intelijen Perlunya Pendekatan Ilmiah Dalam Memprediksi Ancaman Nasional, dalam Orasi Ilmiah Wakil Kepala BIN pada acara Wisuda Mahasiswa STIN Tahun 2009.

Smart intelligence menjadi pilihan paradigma dalam menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Pada konteks kekinian, human intelligence masih menjadi yang utama dalam aktivitas intelijen. Memang dengan perkembangan teknologi, human intelligence harus  dipadukan dengan intelligence technics (baca : intelligence devices), sehingga pada aras early detection, early warning maupun forecasting menjadi optimal dalam rangka menjalankan tugasnya.

Salah seorang yang patut diduga menjadi “Master Spy” di Indonesia yang dalam sebuah blog memperkenalkan diri dengan nama “Senopati Wirang” menyebutkan ada 4 Prinsip Dasar seorang intel/agen. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

source: 123rf.com
Pertama, berani tidak dikenal
Seorang intel sejati tidak akan pernah menampilkan jati dirinya yang sebenarnya kepada siapapun termasuk keluarganya. Mungkin diantara Kita ada yang pernah melihat sebuah film yang berjudul True Lies, dalam film tersebut dikisahkan bahwa seorang agen NSA dimana sang istri dan anaknya tidak mengetahui pekerjaan sebenarnya dari sang kepala rumah tangga.

Terkait dalam dunia industri, Kita mungkin pernah mendengar atau membaca bagaimana Jepang “mencuri” ilmu dan teknologi dari negara-negara Barat untuk mengejar ketertinggalannya dalam ilmu dan teknologi pasca Perang Dunia II.

Informasi yang didapat secara informal dalam pendalaman/pengalian dari informasi yang diperlukan, terkadang atau bahkan lebih sering akurat daripada dilakukan secara formal. Penggalian informasi yang dilakukan dengan gaya santai / rileks sambil ngobrol kesana kemari dengan diiringi pendekatan pertemanan/persahabatan akan lebih mudah mendapat data yang akurat termasuk dari sisi psykologis sang pemberi informasi (bahasa tubuh sang pemberi informasi, ingatan informan dll). Dengan keahlian, keterampilan dan seni dalam menggali informasi, Kita dapat mendapatkan informasi yang diperlukan dengan tanpa disadari oleh lawan bicara (target informan/sumber).

Informasi yang didapat akan relatif sulit dan terasa ada “jarak”  terbentang bila sang “calon korban/informan” menyadari bila dirinya sedang “digali” informasinya. Apalagi pada tahap pendalaman/penggalian informasi, Sang Pencari Informasi mengutarakan maksud dan tujuan aktifitas yang dilakukannya. Contohnya untuk hal tersebut di atas adalah marketing research yang menggunakan quisioner. Atau dapat juga dalam pendalaman, Kita menggunakan alat tulis/alat perekam untuk mencatat berbagai hal yang didapat dalam aktifitas penggalian informasi.

Source : howstuffworks.com
Kedua, mati tidak dicari
Dalam dunia intelijen terutama di beberapa negara yang telah memiliki system intelijen yang mapan, kematian seorang agen (yang sedang bertugas maupun tidak) tidak pernah diberitakan secara terbuka. Kematian seorang agen hanya dilakukan upacara sebagai mana umumnya yang berlaku. Tidak ada upacara khusus  yang dilakukan oleh aparat terkait.  Sebagai contoh, yang cukup menarik, gugurnya seoarang agen CIA hanya ditandai dengan tanda bintang pada dinding disalah satu dinding markas besar CIA di Langley, Virginia Amerika Serikat. Kematian seorang agen terkadang disangkal dengan sebuah penyangkalan yang masuk akal, terutama bila identitas seorang agen diketahui oleh pihak lawan.

Untuk point kedua ini terkait dengan aktivitas competitor intelligent di dunia industri sudah mulai terjadi namun dengan sedikit improvisasi. Memang dalam aktivitas competitor intelijen di dunia industry tidak sampai mengorbankan nyawa.

Saat ini mulai ada kecendrungan trend untuk menyusupkan agen (karyawan) untuk bekerja di perusahan yang menjadi competitor. Tugas sang penyusup tersebut adalah untuk mendapatkan data-data vital dari perusahaan pesaing, misalnya : data proses produksi, data customer, data keuangan dan lain sebagainya. Bila semua data yang diperlukan telah didapat maka sang agen akan mengajukan resign dan dia akan kembali ke perusahaan tempat dia bekerja.

Karyawan yang bertugas seperti seorang agen intelijen seperti di atas sangat berbeda dengan seorang karyawan yang disebut dengan istilah “kutu loncat”. Seorang “kutu loncat” dia bekerja secara mandiri dan bekerja dengan tujuan demi dirinya sendiri (karier dan financial). Sementara seorang karyawan yang ditugaskan sebagai “agen” yang disusupkan pada perusahaan kompetitor dia bekerja untuk perusahaan awal dimana dia bekerja meski secara “administrative” dia telah mengundurkan diri. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi dan mungkin saat ini masih terus berlangsung.

Ketiga, berhasil tidak dipuji
Ya.. Bila berhasil tidak pernah dipuji atau bahkan dirayakan. Karena kaidah dasar dari dunia intelijen adalah ketertutupan, tersembunyi dan senyap meski dilakukan di lingkungan sekitar  yang ramai dan tetap menjalin hubungan dengan individu-individu yang ada di dalamnya.

Keempat, gagal dicaci maki
Kegagalan dalam mengumpulkan dan menganalisa informasi yang diperlukan akan berdampak sangat signifikan dalam mengambil sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang salah akibat dari gagalnya dalam mengumpulkan dan menganalisa informasi yang penting dapat berdampak negatif dan destruktif bagi sebuah negara atau institusi.

Sejarah telah mencatat kegagalan Amerika Serikat dalam keputusannya untuk menginvasi Irak, terkait dengan kegagalan badan-badan intelijennya untuk mengumpulkan dan menganalisa informasi tentang keberadaan pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab pasca tragedi 911 yang meruntuhkan gedung WTC di New York.

Dalam dunia industri pun dapat juga terjadi hal demikian seperti yang tersebut di atas. Bagi “para agen” di dunia industry, kegagalan dalam mengumpulkan dan menganalisa informasi akan berakibat fatal bagi “sang agen”. Bukan caci maki saja yang didapat, demosi jabatan atau bahkan “permintaan untuk mengundurkan diri” dapat saja terjadi.


Artikel Lain Terkait :

Source :





Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...