Saya langsung menulis namanya di ponsel jadul yang
saya miliki agar tidak lupa. Bai Fang Li, seuntai nama, saya mengenal sosok
renta ini ketika melihat kisahnya di on the spot (Trans7) belum lama ini.
Penasaran, saya lalu menggali beritanya di google. Hmm..., ternyata saya telat.
Kisah Bai Fang Li telah lama
diperbincangkan.
Selintas, saya coba membandingkan dengan para
dermawan abad ini semisal Oprah Winfrie atau Bill Gates (seturut beberapa
tulisan yang saya jumpai), namun saya keliru. Sangat tak fair membandingkan
kisah mereka, dia Bai Fang Li sosok yang berbeda, kisahnya terlampau unik....
Hidupnya habis di atas sadel becak. Ia mengayuh dan
terus mengayuh, membawa pelanggan kemana saja mereka mau, meski ia hanya
dibayar sekedar. Tubuhnya kecil, sangat kecil untuk ukuran becaknya atau
pelanggan yang memakai jasanya, namun semangatnya sungguh gagah perkasa.
Sejak jam 6 pagi, ia mulai melanglang di jalanan
dan berakhir setelah jam 8 malam. Pribadinya ramah dengan senyum tak pernah
lekang dari wajah keriputnya. Menurut orang-orang yang mengenalnya, ia tak
pernah mematok harga, berapapun yang dibayar ikhlas ia terima. Tak mengherankan
jika banyak pelanggan yang membayar lebih, mungkin karena tak tega, melihat
tubuh ringkih bersama nafasnya yang ngos-ngosan terus mengayuh becak tua,
mengalahkan terik siang dan jalanan mendaki.
Bai Fang Li namanya, tinggal dalam gubuk reot yang
nyaris rubuh di sebuah daerah kumuh, bersama kebanyakan tukang becak, penjual
asongan dan pemulung. Gubuk yang dihuni bukan miliknya, ia menyewanya secara
harian. Ada sebuah tikar tua rusak dipojok-pojoknya, sebuah kardus berisi
beberapa baju tua, selimut tipis yang telah bertambal-tambal, juga sebuah
piring seng comel, tempat minum dari kaleng yang semuanya mungkin diambilnya
dari tempat sampah. Pada pojok ruangan tergantung lampu templok minyak tanah
untuk menerangi kegelapan gubuk bila malam menjelang.
Orang mengenalnya Bai Fang Li seorang pendatang,
yang tinggal sendirian. Tiada yang tahu siapa sanak dan saudaranya. Namun, Bai
Fang Li tak pernah sepi, banyak yang orang menyukainya.
Sebetulnya penghasilannya cukup untuk mendapatkan
makan dan minuman yang layak, membeli baju yang cukup bagus menggantikan baju
tuanya yang hanya sepasang, serta sepatu bututnya yang robek. Namun ia tidak
pernah melakukannya, semua uang penghasilannya ia sumbangkan pada sebuah
yayasan sederhana yang biasa mengurusi sekitar 300 anak yatim piatu miskin di
Tianjin, China. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui
sekolah.
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang
yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Suatu ketika, hatinya sangat
tersentuh, ia baru saja beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya.
Bai Fang Li, terperangah melihat seorang anak lelaki kurus berusia 6 tahun yang
menawarkan jasa mengangkat barang milik seorang ibu yang baru saja berbelanja.
Tubuh anak kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat, namun tiada
menyerah ia selesaikan tugasnya. Kegembiraan terang terpancar saat menyambut
upah beberapa uang recehan dari ibu itu dan dengan wajah menengadah ke langit
bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Sang Pencipta untuk
rejeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu
menolong ibu-ibu yang berbelanja dan menerima upah uang recehan. Mengikuti, ia
mengamati anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan ketika
menemukan sepotong roti kecil yang kotor, sekenanya membersihkan lalu
memasukkan kemulut, menikmatinya seolah itu roti dari Surga.
Hati Bai Fang Li tercekat, ia hampiri anak lelaki
itu lalu membagikan makanannya. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan
untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak dan tak akan habis
bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….”
jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu…, ayah ibu saya pemulung…
Tapi sejak sebulan lalu, setelah mereka pergi
memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari
makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.
Ia lalu membujuk Wang Fing nama anak lelaki itu
untuk mengantarnya pada ke dua adiknya. Hatinya merintih, melihat kedua adik
Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 4 dan 5 tahun. Kedua anak perempuan
itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang
camping. Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak
terlalu peduli dengan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena
memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk
mengurus orang lain, mengurus keluarga mereka saja sudah sangat kesulitan.
Bai Fang Li lalu memutuskan membawa ke tiga anak
itu ke yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada
pengurus yayasan itu, ia katakan bahwa ia sendiri yang setiap hari akan mengantarkan
semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka
mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan
pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya
dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh
semangat untuk mendapatkan uang. Seluruh uang penghasilannya, setelah dipotong
sewa gubuk dan membeli 2potong kue kismis untuk makan siangnya. Juga setelah ia
membeli sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya,
seluruhnya uang itu ia sumbangkan ke Yayasan untuk sahabat-sahabat kecilnya
yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia melakukan semua itu,
ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa
bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk
dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang
tergoyak dengan kain yang berbeda warna.
Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari
setahun, tanpa peduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju
turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat
membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah
anak-anak itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia
melakukan semua ini…,” katanya bila ditanya orang-orang, mengapa ia mau
berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa peduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi
tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li mengayuh becaknya demi memperoleh
uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada
tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu
pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada
tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih.
Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak
karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak
RMB 500 atau setara dengan Rp 675.000 yang disimpannya dengan rapih dalam suatu
kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun (thn 2005), ia
meninggal karena sakit. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang
hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (setara 470
juta rupiah) yang dia berikan kepada yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah
di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li
memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak
yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh
becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi
yang tak terperikan.
Semoga cerita inspirasi di atas dapat menyemangati
Kita semua bahwa : "......hidup itu hanya satu kali dan tidak perlu kaya
untuk menolong sesama...." Dan sebagai penutup, mari Kita simak beberapa
clip berikut :
Source:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar