Sebagai
seorang yang bekerja di dunia marketing ethical farmasi (medical
representative), kebiasaan makan malam setelah melakukan aktifitas
kunjungan di malam hari adalah suatu hal yang biasa. Bahkan dapat
dikatakan sebagai ritual “resmi” seorang medical representative.
Seorang rekan sempat berkata : “... makan malam terasa nikmat bila
dilakukan setelah pekerjaan telah selesai semua..”. Makan malam
tidak hanya sebagai ritual untuk memenuhi kebutuhan tubuh, namun juga
sebagai ajang sosialisasi bersama rekan-rekan seprofesi.
Kisah
ini terjadi empat tahun yang lalu, beberapa hari menjelang Hari Raya
Idul Fitri 1429 H. Salah satu langganan penulis selama bulan Ramadhan
adalah sebuah warung nasi yang berada di jalan Kapten Sudibyo kota
Tegal, Jawa Tengah. Warung nasi Ibu Fitriyah namanya. Usianya telah
melewati separuh abad. Pilihan atas warung nasi tersebut dikarenakan
sajian dan pilihan makanan yang cukup beragam serta masih fresh pada
malam hari. Ya... masih fresh, karena beliau menyiapkannya sebagai
stock makanan bagi yang hendak sahur. Harga yang cukup ekonomis bagi
para pekerja dan lokasi yang strategis, membuat warung nasi ini cukup
ramai di malam hari.
Malam
itu penulis mendatangi warung nasi Ibu Fitriyah untuk membeli nasi
bungkus sebagai bekal sahur. Keadaan warung itu agak sepi karena
malam telah larut dan beranjak pagi dini hari. Ketika penulis
memasuki warung, terlihat Ibu Fitriyah sedang merenung dan terdengar
sayup-sayup isak tangis yang tertahan. Saya sempat beberapa kali
memanggilnya karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
yang menimpanya.
Ibu Fitriyah |
Setelah
mengusap kedua matanya, Ibu Fitriyah menghampiri penulis dan berupaya
tersenyum sambil berkata : “.... Biasa Dhe.. dibungkus...?”
Penulis pun mengiyakan sambil menanyakan apa yang terjadi. Agak lama
Ibu Fitriyah menjawabnya.... Sambil menyiapkan nasi pada selembar
kertas saji, Ibu Fitriyah menjawab : “... Ndak apa-apa Dhe.. Cuma
sedih karena anak perempuanku yang bekerja di Batam tidak dapat
pulang Lebaran ini. Dia tidak pulang karena THR yang akan didapat
dikumpulkan dan akan dikirim untuk menambah modal warung ini...”.
Penulis sempat terhenyak dan terharu mendengar jawaban Sang Ibu.
Dari
kilasan lembaran kisah hidup di atas, ada dua hikmah yang penulis
dapatkan. Pertama, cinta dan bakti seorang anak untuk membahagiakan
orang tua serta turut serta dalam menjalankan putaran ekonomi
keluarga. Kedua, cinta dan kerinduan seorang Ibu terhadap anaknya.
Sang Bunda bersedih karena Sang Anak tidak dapat berkumpul di hari
yang dinantikan semua orang yaitu berkumpul bersama berbagi kasih
dengan orang-orang yang dicintainya.
Kerinduan
orang tua untuk bertemu dengan anaknya, melebihi batas kasih dan
cinta sepasang anak manusia. Harga yang tak ternilai dan kebahagiaan
yang tiada taranya bila dapat bertemu dan berkumpul dengan buah
hatinya. Mungkin inilah yang menyebabkan pulang kampung / mudik di
hari raya menjadi sebuah “ritual resmi” di Indonesia. Penulis
pada saat menempuh pendidikan di sebuah kota di Jawa Timur, pernah
mencoba untuk tidak mudik di hari raya Lebaran. Namun gagal
dilakukan, semakin mendekati Lebaran terasa semakin kuat kerinduan
untuk “pulang ke rumah”. Terasa sepi, sunyi dalam kesendirian
tanpa makna tanpa arti rasanya bila di hari raya Lebaran tidak
bertemu orang tua dan sanak saudara.
Kehadiran
hati dan kehadiran raga seorang anak dihadapan orang tua kiranya
sangat tidak ternilai oleh apapun. Ada kebahagian tersendiri pada
orang tua atas kedatangan anak cucunya. Sesuatu yang indah, berarti
dan bermakna bagi mereka. Bahagiakan orang tua Kita selama mereka
masih hidup dengan kehadiran hati dan raga Kita dihadapan mereka. Dan
itu sangat berarti dan bermakna ketika mereka hidup daripada setelah
mereka dipanggil olehNya. Selamat Idul Fitri 1434 H bagi yang
merayakannya dan dari lubuk hati terdalam Ananda memohonkan maaf lahir dan batin atas segala kesalahan ....
Note :
Dalam percakapan penulis dengan Ibu Fitriyah, diselingi beberapa ujaran bahasa Jawa khas Tegal. Penulis mencoba menterjemahkannya dengan bahasa Indonesia agar lebih familiar.
Dan sebagai bahan perenungan untuk memperkaya jiwa, mari Kita simak beberapa clip berikut :
Dalam percakapan penulis dengan Ibu Fitriyah, diselingi beberapa ujaran bahasa Jawa khas Tegal. Penulis mencoba menterjemahkannya dengan bahasa Indonesia agar lebih familiar.
Dan sebagai bahan perenungan untuk memperkaya jiwa, mari Kita simak beberapa clip berikut :
Surat Seorang Ibu
Burung Murai
Lebaran : Ulurkan Tangan Ketika
Mereka Masih Mampu Menyambutnya
Mereka Masih Mampu Menyambutnya
Sepucuk Surat
Artikel terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar