Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik
“Respect is a two-way street, if you want to get it, you've got to give it.”
― R. G. Risch
Dengan bersemangat, sang Direktur berpenampilan rapi itu berbicara dan bercerita panjang lebar kepada saya yang berusaha mendengarkannya dengan takzim, sambil menikmati cemilan mix nuts dan kopi di meja. Beliau didampingi sekretarisnya yang tampak tekun mencatat poin-poin penting yang dibicarakan. Begitu semangatnya beliau bercerita, seperti tak pernah kehabisan bahan. Awalnya hanya berbicara soal bisnis, namun kemudian merambah ke berbagai topik, bahkan soal-soal politik, dan akhirnya ujung-ujungnya masuk ke topik yang "menyerempet-nyerempet" dan mengundang gelak tawa kami bertiga.
Whew, rupanya dalam meeting kali ini, saya berhadapan dengan tipe orang yang senang bercerita, suka ngobrol panjang lebar dan senang menyenangkan lawan bicaranya dengan berbagai guyonan lucu. Dari meeting selama dua jam itu, saya hitung-hitung, inti pembicaraan sebenarnya cuma dibahas sebentar dan menghasilkan kesepakatan bisnis hanya dalam waktu lima belas menit saja. Porsi waktu terbesar, apalagi kalau bukan diisi dengan obrolan ngalor-ngidul dengan berbagai topik.
Dalam kesempatan sebelumnya, saya sempat bertemu dengan seorang top eksekutif senior sebuah perusahaan besar. Sang Bapak yang sudah sepuh ini rupanya tipe orang yang biasa berkuasa penuh memegang kendali, dominan, hemat berbicara, namun tegas langsung masuk pokok pembicaraan. Suaranya berat, nadanya tegas, dan tak suka berbasa-basi. Saya hitung-hitung, selama meeting dua jam itu, beliau hanya sempat tersenyum dua kali saja, itupun hanya tersenyum tipis, actually. Pertama, ketika kami bersalaman di awal meeting. Kedua, ketika kami selesai meeting dan bersalaman lagi sebelum berpisah.
Itulah dua contoh dari sekian banyak asam garam dan suka duka yang pernah saya alami dalam berbagai meeting dan negosiasi. Selama saya "berkelana" dalam kurun waktu kurang lebih delapan belas tahun, dari sejak mengabdi di lingkungan Departemen Keuangan, lalu pindah kerja ke perusahaan migas multinasional, kemudian pindah ke World Bank, hingga kembali lagi ke perusahaan migas multinasional, loncat ke perusahaan migas BUMN, lalu kembali memimpin perusahaan multinasional, saya merasa beruntung merasakan begitu banyak pengalaman bertemu dan bernegosiasi dengan berbagai tipe manusia dari berbagai bangsa dengan karakter dan budaya yang berbeda-beda.
At least, akumulasi pengalaman itu membuat cakrawala berpikir saya menjadi lebih lapang secara vertikal dan horisontal. Banyak suka dukanya, susah dan senangnya, namun semuanya saya syukuri dan saya leverage sebagai bagian proses pembelajaran diri, melalui "learning by experiencing".