Halaman Muka

Minggu, 07 September 2014

MUTUALISME vs “MUTUNGISME”

Catatan Ringan Taufikurrahman Taufik

Taufik
Di pinggir Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, ada sebuah warung gado-gado yang menjadi salah satu tempat kuliner favorit saya di Jakarta. Gado-gadonya lezat, nikmat, namun dengan harga merakyat. Persis di sebelah warung gado-gado itu, mangkal pula seorang tukang es podeng, yang disamping berjualan es podeng, seringkali juga ikut membantu mengantarkan piring-piring gado-gado kepada para pelanggan yang memesan gado-gado dari dalam mobil. Rasa es podengnya lezat dan segar nian. Percayalah, kombinasi antara gado-gado dengan es podeng merupakan kombinasi yang dahsyat untuk menu makan siang Anda. Maknyuss, meminjam istilah pakar kuliner Bondan Winarno.
Tak heran, warung gado-gado itu selalu ramai pengunjung. Banyak pembeli bermobil mewah "nongkrong" di situ. Pada jam makan siang, jangan heran kalau Anda menjumpai mobil-mobil mewah berderet sepanjang jalan Kertanegara yang teduh itu. Bahkan beberapa kali makan siang di situ, saya "memergoki" serombongan ABG dan ibu-ibu muda cantik bermobil mewah asyik menikmati gado-gado di situ tanpa canggung.
Hubungan antara Tukang Gado-gado dan Tukang Es Podeng tersebut merupakan contoh sederhana sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Kalau menurut istilah ilmu biologi, ini adalah sebuah “Symbiosis Mutualisme". Dengan adanya tukang es podeng, maka warung gado-gado mendapatkan bantuan untuk menyajikan hidangan penutup yang lezat bagi pelanggan setianya, tanpa harus menyediakan sendiri menu penutup tersebut, yang bukan kompetensinya. Sehingga pelanggan gado-gado yang kebetulan suka es podeng semakin terpuaskan dan makin gemar mengunjungi warung gado-gado tersebut. Sedangkan si tukang es podeng mendapatkan rezeki dari banyaknya pelanggan warung gado-gado yang kebetulan juga menggemari es podeng. Sebuah kerja sama alamiah yang saling menguntungkan dan terwujud tanpa harus memerlukan MoU, Kontrak, ataupun perjanjian bisnis yang njlimet dan merepotkan. Dan ini hanya sebuah contoh, masih banyak contoh lainnya yang serupa, yang menunjukkan indahnya kerja sama bisnis model “win-win” ala rakyat kecil.

Hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, atau istilah kerennya hubungan “mutualisme”, “mutual partnership”, dan sebagainya, kerap diterapkan dalam aktivitas berbisnis, bermasyarakat, sampai berpolitik dan bernegara. Bukan hanya dalam lingkup positif, bahkan dalam dunia “gelap” pun, terdapat banyak kerja sama “mutual” seperti ini. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan selalu memerlukan kerjasama untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. “The only thing that will redeem mankind is cooperation”, kata Bertrand Russel.
Dalam tataran positif, hubungan mutualisme sering disebut “Cooperation”, sedang dalam tataran negatif, hubungan mutualisme lebih sering disebut “Collusion” alias kolusi. Kerja sama antara pengusaha dengan kelompok preman, misalnya, bisa berupa kerja sama saling menguntungkan. Demikian pula kerja sama antara koruptor dengan oknum aparat, ataupun dengan politisi hitam.
Sebagaimana lazimnya hubungan kerja sama antar manusia, maka secara alamiah akan mengikuti naik turunnya ego manusia, selalu ada pasang surutnya. Kadangkala, ada pihak-pihak yang tersakiti dalam hubungan kerja sama tersebut. Satu pihak merasa tidak puas dengan komitmen pihak lainnya, maka terjadilah keretakan hubungan, bahkan bisa sampai terjadi perpecahan dan putus hubungan. Istilah politiknya, “pecah kongsi”. Maka hubungan “Mutualisme” ini berubah menjadi hubungan “Mutungisme”. Artinya, para pihak yang awalnya akrab bekerja sama, menjadi saling “mutung”, ogah dan tak sudi untuk bekerja sama lagi.
Ada "Mutungisme" yang sifatnya temporer dan berskala relatif ringan, seperti kasus “Silenzio Stampa”, yakni mogok bicara kepada media, yang lazim dilakukan oleh klub-klub sepakbola di Italia untuk memprotes pemberitaan negatif yang semena-mena oleh media, yang dapat berpotensi mendemotivasi pemain-pemain klub tersebut. Dengan mogok bicara ini, hubungan mutualisme antara pihak klub dengan media untuk sementara mengalami kebuntuan. Tapi biasanya ini hanya bersifat temporer dan berujung damai, karena toh pada akhirnya klub sepakbola tetap memerlukan publisitas dan promosi lewat media, dan sebaliknya pihak media pun memerlukan berita-berita seputar klub sepakbola dan para pemainnya sebagai lahan bisnis mereka.
Namun ada pula “Mutungisme” tingkat parah alias stadium tinggi. Jika sudah demikian, maka bukan hanya hubungan bisnis yang berantakan, namun bisa sampai terjadi saling gontok-gontokan, bahkan saling tuduh, saling memojokkan pribadi, saling menelanjangi, dan saling memfitnah di media massa dan ruang publik. Berlomba untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Bahkan, ada mantan karib yang “pecah kongsi” yang akhirnya cakar-cakaran, saling seret untuk akhirnya bisa sama-sama masuk ke penjara. Dengan bebasnya pers saat ini, masyarakat hampir tiap hari bisa menyaksikan drama adu penalti “pecah kongsi” semacam ini di televisi, di media cetak, maupun media online. Kadang pertengkarannya pun seperti anak-anak kecil yang rebutan permen, tak ada yang mau mengalah. Kadang drama itu sampai kebablasan saling mencerca ranah pribadi masing-masing. Jika sudah seperti ini, maka derajat “mutung”-nya mungkin sudah mencapai tingkat ketujuh yang sulit didamaikan. “Mutungisme” total!
Nah, silakan Anda memilih. Apakah Anda akan memenuhi hidup Anda dengan hubungan “Mutualisme”, ataukah “Mutungisme”. Semakin banyak anda memiliki hubungan “Mutualisme”, maka semakin mudah dan indah hidup Anda. Karena Anda akan memiliki banyak sahabat dan saudara untuk berbagi dan saling membantu. Istilah religinya, hidup Anda penuh berkah silaturrahmi.
Jangan lupa, usahakan untuk senantiasa berjalan di koridor yang benar dan positif dalam hubungan “Mutualisme”. Karena hubungan mutualisme yang membungkus aktivitas ilegal dan negatif, sangat rentan untuk menuju jurang “Mutungisme”. Yang jelas, semakin banyak hidup Anda dihiasi dengan hubungan “Mutungisme”, akan makin sulit dan kacau hidup Anda. Karena Anda akan dikelilingi musuh-musuh yang senantiasa mengintai dan menginginkan kehancuran Anda.
Lalu bagaimana kiat untuk dapat menjaga hubungan kerjasama "Mutual" yang sehat?
Pertama, saling menjaga kepercayaan. Karena pada dasarnya saling percaya (mutual trust) adalah modal dasar hubungan baik yang saling menguntungkan. Seperti kata Albert Einstein, “Every kind of peaceful cooperation among men is primarily based on mutual trust”. Hubungan “mutualisme” akan mudah berubah menjadi “mutungisme” jika rasa saling percaya antar para pihak yang bekerja sama terkikis.
Kedua, hindari membuat kerja sama yang "timpang". Misalnya, meskipun sama-sama untung, tapi pembagian keuntungannya sangat timpang, tak sesuai dengan effort dan pengorbanan masing-masing pihak. Anda boleh memperoleh keuntungan lebih besar dari partner Anda, namun hal itu harus didasarkan pada effort dan pengorbanan yang lebih besar pula. Percayalah, kerja sama yang diwarnai ambisi dan kerakusan salah satu pihak untuk "mengeksploitasi" pihak lainnya tak akan bisa bertahan lama. Jikapun bertahan lama, pasti tidak alamiah, misalnya karena dilandasi oleh rasa sungkan dan ketakutan salah satu pihak. Dan hal ini jelas tak sehat dan rentan untuk memunculkan perpecahan sewaktu-waktu.
Ketiga, "be professional". Jikapun partner kerja sama Anda adalah keluarga, saudara, ataupun teman dekat, usahakan untuk senantiasa profesional dalam menjalankan kerja sama tersebut, sesuai nature of business hal yang dikerjasamakan. Sikap profesional ini penting untuk dijaga bersama, untuk menghindari keretakan hubungan pribadi gara-gara perbedaan pendapat dalam bisnis. Anda boleh berbeda pendapat dalam aktivitas profesional, namun sebaiknya jangan sampai mempengaruhi hubungan silaturrahmi atau persahabatan Anda secara pribadi dengan mitra kerjasama Anda.

Source:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...