Netty
Delima, EXPERD Consultant
Dalam
era yang semakin kompetitif ini, banyak yang menempatkan pekerjaan
sebagai hal yang terpenting dalam kehidupan. Seperti yang dialami
oleh Sinta (28), seorang karyawati di sebuah perusahaan multinasional
terkemuka. Ia memulai karirnya dari entry level tiga tahun yang lalu.
Baru seminggu ini ia diangkat sebagai supervisor yang memiliki
beberapa anakbuah. Prestasi yang dicapainya ini tentu saja ia peroleh
dengan kerja keras, karena persaingan yang cukup tinggi dengan
karyawan lainnya.
Selain merasa bangga, ia juga semakin terpacu untuk memberikan performance yang lebih memuaskan. Kalau biasanya ia masih dapat menikmati akhir minggu dengan jalan-jalan di mal, kumpul-kumpul dengan keluarga atau olahraga, kini ia rela untuk lembur di kantor. Malam minggu ia habiskan untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, dan tidak jarang pula ia membawa sebagian pekerjaannya ke rumah. Dengan tugas dan tanggung jawab yang semakin banyak, ia sering merasa kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugasnya. Kadang-kadang, saat makan siang pun ia masih tetap memikirkan pekerjaan.
Tanda-tanda
Workaholic
Ada
banyak pandangan terhadap aktivitas bekerja. Bagi para
fresh-graduated, umumnya mereka bekerja untuk menerapkan pengetahuan
yang mereka peroleh dibangku kuliah atau mencari pengalaman. Ada pula
yang bertujuan untuk mencari nafkah dalam upaya meningkatkan status
ekonomi dan sosial. Sementara bagi mereka yang secara ekonomi sudah
tergolong mapan, bekerja merupakan suatu aktivitas untuk sekedar
mengisi waktu luang.
Sementara itu kondisi yang dialami oleh Sinta, merupakan fenomena workaholic, dimana pekerja mendedikasikan dirinya secara total pada kehidupan karirnya. Mereka biasa bekerja dengan beban kerja yang tinggi dan menghabiskan waktu yang panjang pula. Demi pekerjaan mereka sering mengabaikan aktivitas ataupun tanggung jawab lainnya. Bagi yang belum berkeluarga, mereka tidak lagi terlibat dalam kegiatan atau aktivitas sosial dengan teman-teman sehingga relasi dan kontak sosial semakin terbatas. Orang-orang di lingkungan sulit sekali "meminta" waktu mereka. Mereka sering menolak ikutan acara-acara gaul. Alasannya? Tentu saja karena pekerjaan.
Sementara bagi yang sudah berkeluarga, seringkali "lupa" dengan tanggung jawab sebagai orangtua. Tidak jarang bagi orangtua yang workaholic, kehilangan saat-saat dimana anak-anak mereka tumbuh, sehingga sering muncul perkataan,"..Wah.. anak saya sudah remaja ya.. cepat sekali..."
Peran orangtua untuk membesarkan anak juga menjadi tidak
seimbang, karena lebih mengandalkan pasangannya untuk lebih aktif
dibandingkan dirinya. Sementara itu si anak berusaha untuk mencari
perhatian orangtua mereka yang lebih mementingkan pekerjaan. Tanpa
disadari peran keluarga dalam memberi perhatian diganti dengan
kehadiran teman-teman. Kondisi ini lama-lama akan menimbulkan sikap
dan rasa tidak peduli pada orangtua mereka. Terhadap pasangan pun,
perhatian mereka semakin berkurang sehingga menimbulkan perasaan
terabaikan. Tidak sedikit dari mereka merasa kurang dihargai oleh
pasangan yang workaholic.
Terhadap kegiatan yang bersifat rekreasi, mereka lihat sebagai pembuangan waktu. Dengan demikian mereka lebih sering menghindari aktivitas tersebut. Kalau pun ada, kegiatan tersebut masih berkaitan dengan pekerjaan mereka. Contohnya mengikuti kegiatan olahraga, tapi topik pembicaraan masih seputar pekerjaan dalam usaha mencari peluang bisnis. Mereka seringkali mengabaikan kesehatan dan aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan mereka.
Kalau dilihat dari hasil kerja yang ditunjukkan, mereka tergolong memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan. Mereka cenderung tidak puas dengan hasil kerja yang biasa-biasa saja. Standar kerja mereka tergolong tinggi dan berusaha keras untuk mencapainya. Kondisi ini dapat pula dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang kompetitif dimana kesempatan untuk promosi lebih sulit jika mereka tidak terlihat menonjol.
Jika diamati secara sepintas, tingkah laku para workaholic
tidak jauh berbeda dengan para hardworker. Bahkan sering pula kita
memasukkan mereka pada kategori yang sama. Namun apabila dicermati,
maka terdapat perbedaan yang jelas diantara keduanya.
Anda
tergolong workaholic, jika:
- Mengutamakan pekerjaan dibandingkan aktivitas lain
- Rumah adalah "kantor kedua anda
- Membawa perlengkapan kerja ke mana pun anda pergi, termasuk pada saat berlibur
- Bekerja dapat membuat anda lebih senang dibandingkan kegiatan lain
- Waktu tidur dan rekreasi anda jauh berkurang
- Anda tidak menginginkan hari libur
- Anda merasa sangat letih, mudah marah dan terasing dengan lingkungan sosial anda
- Merasakan gejala fisik yang tidak menyenangkan, seperti sakit kepala, insomnia, jantung berdetak dengan cepat, napas lebih pendek dan otot-otot menjadikaku.
Workaholic=Hardworker??
Pekerja yang digolongkan sebagai hardworker memandang pekerjaan sebagai hal yang penting sehingga berusaha untuk memberikan hasil dan kontribusi yang optimal. Namun mereka dapat membatasi keterlibatan diri dengan pekerjaan, sehingga masih memiliki waktu untuk keluarga, teman atau aktivitas rekreasi. Dengan demikian mereka dapat melepaskan diri dari pekerjaan dan memiliki kehidupan lain.
Pekerja yang digolongkan sebagai hardworker memandang pekerjaan sebagai hal yang penting sehingga berusaha untuk memberikan hasil dan kontribusi yang optimal. Namun mereka dapat membatasi keterlibatan diri dengan pekerjaan, sehingga masih memiliki waktu untuk keluarga, teman atau aktivitas rekreasi. Dengan demikian mereka dapat melepaskan diri dari pekerjaan dan memiliki kehidupan lain.
Sementara seorang workaholic,
tidak rela membiarkan diri mereka tanpa bekerja karena akan
menimbulkan perasaan tidak berharga dan terasing. Bahkan ada yang
merasa aneh pada dirinya dan lingkungan. Pada sebagian
workaholic, mereka berusaha untuk menghindari kondisi dimana mereka
tidak bekerja. Ini terjadi karena persepsi yang berlebihan terhadap
pekerjaan, sebagai satu-satunya hal yang paling dapat memberikan
kebanggaan.
Dampak
negatifnya
Apabila
seseorang sudah terlalu lama tergolong sebagai workaholic, akan
menyebabkan ketumpulan pada berbagai aspek kehidupannya. Secara
emosional, cenderung cepat marah dan cemas jika performance mereka
tidak sesuai dengan dengan harapan mereka.
Mereka juga kurang peduli
terhadap orang lain, sehingga sering mengabaikan kebutuhan dan
perasaan orang lain. Bahkan mereka cenderung ingin dipahami oleh
orang lain, misalnya tidak dapat bergabung dalam suatu acara karena
kesibukan kerja. Atau apabila tiba-tiba mereka menyadari bahwa
teman-teman dan keluarga kurang peduli terhadap kehadiran mereka,
mereka akan berpikiran, "..Lho...apa salah saya, sih? Sayakhan gak
bisa ikut ke kafe karena banyak kerjaan... kok, sekarang temen-temen
nyuekin saya?..." Demikian pula secara spiritual, dimana mereka kurang
bersedia meluangkan waktu untuk hal-hal kerohanian karena dianggap
menyita waktu.
Selain
itu, dari segi kesehatan, kemungkinan terkena serangan jantung
tergolong tinggi. Mereka berusaha keras untuk mencapai kesuksesan,
dan kalau kenaikan gaji dan promosi gak sesuai harapan, mereka cepat
mengalami stres dan berdampak pada kondisi kesehatan mereka. Stres
yang tinggi juga dapat menyebabkan tekanan darah meningkat, sebagai
faktor yang paling beresiko terhadap sakit jantung atau serangan
jantung. Stres juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga
menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit.
Di Jepang, setiap
tahunnya 10.000 pekerja didapati tergeletak di meja kerja
mereka karena bekerja minimal 60 sampai 70 jam dalam seminggu. Waktu
istirahat mereka singkat sekali! Hal ini tidak hanya berdampak pada
kesehatan fisik saja, tetapi juga kesehatan mental karena mereka
mudah mengalami stres yang bersifat kronis. Dengan pikiran yang
terbeban dengan pekerjaan, mereka juga mengalami gejala sulit tidur.
Jika dibandingkan dengan rekan kerja yang lain, mereka lebih mudah
merasa depresi bila mengalami hal-hal yang mengecewakan.
Sampai saat ini masih merupakan kontroversi, apakah workaholic termasuk gangguan psikologis atau tidak. Dalam Journal of Employment Counseling, Robinson E. Bryan menggolongkan workaholic sebagai gangguan kompulsif, yang tidak hanya berdampak negatif pada dirinya tetapi juga keluarga dan lingkungan kerjanya. Namun, psikolog lainnya, Laura S. Struhl berpandangan bahwa workaholic hanyalah topik atau isu psikologis yang biasa terjadi di kalangan pekerja. Sebuah dilema yang muncul untuk menyeimbangkan antara kepentingan karir dan aspek kehidupan personal yang lain.
Segera
lakukan perubahan
Terlepas
dari setuju atau tidaknya para ahli terhadap penggolongan workaholic
sebagai gangguan psikologis, pada kenyataannya fenomena ini lebih
banyak memberikan dampak negatif dibandingkan keuntungan yang
diperoleh seorang pekerja dan orang-orang di sekitarnya. Pertanyaan
selanjutnya adalah, jika anda seorang workaholic, apa yang harus anda
lakukan?
Sebelum
terlambat,anda bisa coba langkah-langkah berikut:
Ubah mindset anda
Hal
yang menonjol bagi workaholic adalah persepsi terhadap aktivitas
bekerja sebagai sesuatu yang paling bermakna dalam kehidupan. Coba
ubah persepsi anda tersebut dengan mempertimbangkan akibat negatif
yang akan anda peroleh. Pikirkan juga hal-hal positif yang akan anda
dapatkan jika anda membuat perubahan pada hidup. Misalnya, masukan
kegiatan sosial dalam jadwal sehari-hari. Berikan waktu minimal 20
sampai 30 menit untuk ngobrol-ngobrol dengan rekan-rekan di kantor.
Bincangkanlah topik-topik yang ringan, misalnya tentang hobi, kencan
semalam, atau film-film terbaru. Begitu pula saat anda tiba di rumah,
luangkan waktu anda sedikitnya satu jam untuk ber-ha-ha-hi-hi dengan
anggota keluarga yang lain.
Sosialisasi
Gaul
dengan teman-teman? Boleh dong anda punya waktu khusus dengan
teman-teman anda! Weekend ke Bandung, makan bareng-bareng di resto
yang belum pernah dikunjungi, olahraga rame-rame ke Senayan atau
aktivitas apa saja yang menyenangkan. Jika tidak memungkinkan, kontak
telepon atau e-mail juga dapat memberikan suasana yang berbeda.
Namun, sekali lagi, jangan bicarakan hal-hal seputar pekerjaan yang
membebani pikiran anda.
Buat jadwal kerja
Jangan
mengorbankan waktu istirahat di kantor atau waktu tidur anda di rumah
dengan pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya. Batasi waktu kerja di
kantor selama kurang lebih delapan jam seharinya. Untuk itu anda
perlu bekerja dengan sistematis dan teratur. Delegasikan sebagian
tugas anda pada staf lain, kalau anda memiliki anakbuah. Dengan
demikian anda akan mengerjakan porsi pekerjaan anda lebih optimal.
Bagi anda yang bekerja berdasarkan permintaan atau proyek, jangan
tergoda untuk mengambil beberapa proyek sekaligus tanpa
mempertimbangkan waktu yang anda butuhkan. Nanti anda malah kerepotan
dan dapat komplain!
Perhatikan kondisi fisik
dan mental
Makan
dan olahraga dengan teratur serta tidur yang cukup akan membuat
kondisi fisik dan mental jadi lebih sehat. Jika berada di kantor,
tidak ada salahnya untuk memejamkan mata beberapa saat atau berjalan
ke ruangan lain dapat menyegarkan pikiran anda kembali. Tapi, jangan
terlalu lama, nanti pekerjaan anda jadi tertunda! Tentu saja dengan
kondisi yang sehat pula, anda dapat menikmati jerih payah anda
dengan orang-orang di sekitar anda.
Jika
anda melakukan hal-hal tersebut dengan teratur, maka anda tidak perlu
mengorbankan kehidupan sosial dan kepentingan pribadi anda. Yang
terpenting adalah anda bisa meniti karir dan tetap memperhatikan diri
sendiri serta orang-orang di lingkungan anda.
Dan sebagai penutup, mari kita simak clip berikut :
Source :experd.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar