by: Dadang Kadarusman
Source: www.barnesandnoble.com |
Andaikan kita boleh bereksperimen. Menanyakan pertanyaan ini; “Siapakah Yang Layak Menjadi Pemimpin?” kepada sekelompok orang secara individual. Kemungkinan kita akan mendapatkan jawaban seperti ini: Saya, Gue, Ane. Atau Aku. Memang sih, jawaban itu tidak akan sedemikian vulgarnya. Namun, di kantor-kantor kita selalu bisa menemukan orang yang merasa dirinya lebih layak untuk dipromomosikan menduduki jabatan tinggi dibanding seseorang yang menurut pendapatnya ‘nggak pantes’, kan? Apalagi menjelang pemilu seperti saat ini. Lihatlah disepanjang jalan toll, setiap perempatan atau tikungan. Ada banyak foto orang-orang ‘asing’ yang merasa bahwa wajahnya harus dikenal. Alasannya ya itu tadi. Karena mereka merasa bahwa dirinyalah yang layak untuk menjadi pemimpin. Tapi, sebenarnya siapa sih yang bisa secara obyektif menentukan seseorang layak menjadi pemimpin atau tidak itu? Bukan dirinya sendiri.
Anda pernah menonton film ‘Mobsters’? Awal tahun 90-an sih. Agak jadul. Tapi, film itu jadi punya nilai sejarah karena ceritanya diadaptasi dari situasi nyata yang terjadi di New York di tahun ’20-an. Dunia tahulah bahwa di masa itu, NYC sedang dilanda oleh wabah mengerikan berupa tumbuhnya kriminalitas yang didalangi para Mafioso. Ada banyak boss mafia dikala itu. Namun, yang paling berkuasa hanya dua yaitu Don Faranzano dan Don Masseria. Maka boss yang lain bisa bertahan dengan menjadi kacung salah satu dari kedua Don itu. Sedangkan rakyat kecil, hanya menjadi bemper diantara kedua raksasa yang doyan saling tembak itu.
Diantara mereka yang terjepit adalah 4 remaja, yang terpaksa harus kehilangan salah seorang sahabatnya setelah dihabisi didepan Don. Berempat, mereka tumbuh menjadi anak jalanan yang saling membantu untuk sekedar bisa bertahan dari kerasnya kehidupan NYC kala itu. Mereka terdiri dari Chalie Luciano dan Frankie Costello, yang berdarah Italy. Serta Meyer Lansky dan Benny Siegel, keduanya keturunan Yahudi. Mereka berempat inilah yang kelak memimpin seluruh keluarga Mafioso Amerika dalam sebuah konsorsium modern yang dibangun untuk pertama kalinya. Namun, jauh sebelum sampai kepada masa kejayaan itu, empat sekawan remaja pemberani itu harus memutuskan terlebih dahulu; siapakah diantara mereka ber-4 yang layak menjadi pemimpin.
Benny dan Frankie, adalah jago berkelahi. Menembak merupakan keahlian utama mereka. Dan mereka sadar, bahwa semua hal itu bukanlah modal yang tepat untuk menjadi pemimpin buat masa depan sang empat sekawan. Di zaman modern seperti sekarang ini, kita boleh menggambarkan Benny dan Frankie sebagai ‘sang eksekutor’ alias ‘Doer’ atau pelaksana pekerjaan. Sampai hari ini pun kita tidak pernah menganggap bahwa para ‘pelaksana’ layak menjadi pemimpin. Maka jika ada seorang karyawan yang jago mengerjakan tugas-tugasnya. Selalu mencapai target. Dan tangguh di lapangan, belum tentu cocok menjadi pemimpin. Karena, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, dibutuhkan lebih dari sekedar kemampuan mengerjakan tugas-tugas teknis.
Tinggal Charlie dan Meyer. Kandidat yang paling layak memimpin. Mereka berebutan? Tidak. Justru masing-masing saling mempersilakan. Sehingga ujung-ujungnya tidak ada yang jadi pemimpin. Tentu jauh sekali dengan kondisi yang sering terjadi di lingkungan kita. Setiap orang merasa dirinya paling berhak. Dan paling layak untuk menjadi pemimpin. Sehingga jamak, jika ditempat kita pemilihan pemimpin menjadi ajang yang kadang sampai sangat mengerikan. Charlie dan Myer tidak. Sebab masing-masing tahu, bahwa orang yang sedang berada dihadapan dirinya adalah orang yang sangat pantas untuk memimpin. Dan mereka menghargai satu sama lain dengan sedemikian kuatnya.
Tidak bagus juga kan kalau kondisinya seperti itu. Bisa-bisa, tidak akan pernah ada pemimpin definitif yang kita punya. Lantas, apa yang dilakukan? Voting? Tidak. Mereka punya cara sendiri. Keempat pemuda itu masuk ke sebuah gedung yang ramai. Lalau, Chalie dan Meyer duduk di sebuah ruangan tertutup. Sedangkan Benny dan Frankie, keluar mencari seorang anak yang masih polos. Kepada anak itu kemudian mereka mengatakan; “Didalam gedung itu, ada boss yang bisa memberimu pekerjaan. Kalau kamu mau, temui dia…..”
Anak itu mau. Kemudian dia masuk kedalam gedung, dan mencari seorang boss yang – katanya – akan memberinya pekerjaan. Bagaimana anak itu bisa menemukan orang yang dimaksud? Ada begitu banyak orang disitu? Namun anak itu tidak putus asa. Dia, meneliti satu demi satu orang yang ada disitu. Kemudian diakhir penelusurannya dia berhadapan dengan dua orang di sebuah ruangan terpisah. Ini baru masalah. Karena meskipun dia sudah bisa menyimpulkan bahwa ratusan orang lainnya bukan seorang boss, sekarang anak kecil itu berhadapan dengan dua orang yang sama-sama punya karisma. Dia, harus bertanya kepada orang yang tepat. Untuk mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan.
Setelah cukup lama anak itu terpaku sambil melihat bolak balik kearah dua lelaki itu, akhirnya dia menatap salah satunya. Lalu dia bilang; “Katanya kamu punya pekerjaan untukku?” Orang yang ditanya tersenyum. Lalu mengeluarkan kepingan uang dari sakunya. Dan diserahkannya kepada anak itu. “Here boy….” Katanya. “You have just did it!” Anak itu menerima upahnya dengan gembira lalu pergi meninggalkan mereka. Sedangkan keempat sekawan itu baru saja berhasil mendapatkan keputusan. Siapa yang layak menjadi pemimpin bagi masa depan mereka. Charlie Luciano.
Sahabatku, ada beberapa catatan menarik dari cerita ini tentang siapa yang sebenarnya paling layak untuk menjadi pemimpin. Pertama, penilaian itu bukan datang dari diri sendiri. Kita boleh saja menilai diri sendiri sebagai yang paling baik, dan paling pantas. Namun, penilaian kita kemungkinan besar bersifat sangat subyektif. Apalagi jika kita sungguh sangat bernafsu untuk mendapatkan jabatan itu.
Kedua, kemampuan teknis yang unggul bukanlah modal utama dalam kepemimpinan. Kehebatan kita dalam mengerjakan sesuatu – seperti ketangguhan Benny dan Frankie dalam soal menembak – itu tidak serta merta menjadikan kita paling layak memimpin. Karena kenyataannya, pemimpin itu lebih sedikit mengerjakan hal-hal teknis, dan lebih banyak mengambil keputusan dan tindakan strategis.
Ketiga, seseorang yang layak menjadi pemimpin namun tidak terpilih jadi pemimpin tetap saja memiliki kualitas kepemimpinan yang tinggi itu didalam dirinya. Seperti Meyer itu. Meski tidak menjadi orang nomor satu, tetapi sudah jelas dinilai sebagai orang yang jauh lebih layak memimpin dibandingkan dengan ratusan orang lainnya didalam gedung itu. Meskipun kita tidak mendapatkan promosi itu, tapi di kantor kita akan tetap mendapatkan posisi dan tanggapan penuh hormat. Jika kita benar-benar memiliki kualitas kepemimpinan itu.
Keempat, orang yang menjadi pemimpin tidak selamanya benar. Ini dialami oleh Charlie ketika dia mengambil keputusan yang hampir saja membuatnya mati ditangan Don Faranzano. Padahal, Meyer sudah mengingatkannya. Selamatnya Charlie dari maut dengan luka parah itu dianggap sebagai sebuah keajaiban. Dan keajaiban lainnya adalah ketika Charlie memahami bahwa sebagai seorang pemimpin, dia tidak selalu benar. Sehingga dia memang harus mau mendengar suara kebenaran yang datang dari orang-orang yang dipimpinnya. Sebuah sentilan berharga bagi kita, jika masih sering mengabaikan suara-suara yang datang dari kalangan bawah.
Kelima, kepemimpinan tertinggi didapat melalui kolaborasi. Setelah berhasil menghabisi Don Masseria dan Don Faranzano, kelompok Charlie semestinya bisa menjadi penguasa tertinggi Mafioso. Namun Charlie lebih memilih untuk menjadikan boss-boss Mafioso lainnya sebagai mitra. Kemudian mereka menjadi dewan komisaris yang berhak menentukan siapa ‘komisaris utamanya’. Dan tebak, siapa yang mereka pilih secara aklamasi? Charlie.
Konon selama Charlie memimpin kelompok Mafioso itu, tragedi saling bunuh dan penindasan penduduk semakin menurun. Meskipun the nature of the business yang mereka jalankan sangat berpotensi memunculkan berbagai macam konflik itu. Bisnis kita. Dan tugas kepemimpinan kita. Sungguh sangat jauh dari cerita seram seperti itu kan? Artinya, mestinya kita bisa lebih berhasil dalam memberi manfaat nyata dari kepemimpinan kita ini bagi orang-orang yang kita pimpin. Jika kita menjadi pemimpin di kantor, maka dampak kepemimpinan kita akan terasa oleh orang sekantor. Meskipun kita baru bisa menjadi pemimpin di unit terkecilnya.
Jika kita pemimpin mayarakat, maka kita bisa mengukur layak apa tidaknya kita menjadi pemimpin bagi mereka melalui manfaat nyata yang bisa kita berikan kepada rakyat. Karena didunia ini; rakyatlah yang paling layak menilai kualitas kepemimpinan kita. Bukan diri kita sendiri. Dan bukan bangsa lain. Sedangkan diakhirat nanti, Tuhanlah yang menentukan keputusan akhirnya.
Source:
Dan untuk memperkaya wawasan Kita, Mari kita simak clip berikut ini:
Mobster (1991)
Pemimpin yang Dicintai by Cicik Resti Consultan
Saya Pasti Bisa by Cicik Resti Consultan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar