by Tri Susilawati
Source : Shutterstock.com |
Banyak
pasien yang mengeluh ketika antri di ruang praktek dokter, apalagi
dokter spesialis. Pernahkah pasien berpikir, bahwa pasien hanya perlu MENUNGGU beberapa menit atau beberapa jam, sementara dokter BEKERJA
berjam-jam melayani pasien petama hingga habis, tak jarang sampai dini
hari baru bisa beristirahat. Padahal di negara lain, antri di tempat
praktek dokter adalah hal yang termudah.
Pengalaman
penulis di Australia, sebelum bertemu dokter di tempat prakteknya,
pasien harus janjian dulu lewat resepsionis. Terkadang dokternya sudah
“fully booked” dan pasien harus menunggu hingga keesokan harinya. Mau
masuk UGD langsung supaya lebih cepat mendapat pertolongan? Tunggu dulu.
Jika datang ke UGD dengan penyakit ringan, bisa jadi menginap di ruang
tunggu dan baru bertemu dokter UGD hari berikutnya. Belum lagi biaya
konsultasi dokter UGD yang 5 kali lipat biaya konsultasi dokter umum.
Mau ke spesialis? Harus dapat rujukan dari dokter umum. Pun, tidak bisa
jadi pasien abadi di praktek spesialis. Setelah kebutuhan
spesialistiknya hilang, dokter spesialis akan mengembalikan ke dokter
umum.
Tapi kan
banyak pasien miskin di Indonesia? Oh, jangan kuatir. Sudah dipikirkan
oleh para elite politik. Istilah “pengobatan gratis” tak bosan-bosannya
menjadi slogan kampanye yang memikat. Justru penulis lebih kuatir pada
dokter dan tenaga kesehatan lain. Selain
mendapat kompensasi yang tak sebanding dengan risiko, mereka menjadi
“miskin waktu”. Beban kerja dan tanggung jawab moral menjadikan mereka
kekurangan waktu untuk keluarga dan untuk diri sendiri.
Ketika
budaya “one stop shopping” menyentuh praktek dokter, praktek bersama
menjadi trend di setiap daerah di Indonesia. Kolaborasi beberapa dokter
spesialis lengkap dengan laboratorium, radiologi dan apotik di satu
tempat menjadikan pelayanan kesehatan lebih cepat, mudah dan nyaman bagi
pasien.
Pengalaman menarik penulis dapatkan ketika hamil putri kedua (tahun 2013), di Australia. Dugaan adanya keguguran (abortus imminens)
membuat dokter umum merujuk penulis ke UGD rumah sakit terdekat. Saking
lamanya menunggu dokter UGD, perawat memperbolehkan penulis pergi ke
tempat lain dan nanti akan dihubungi ketika dokter tersedia. Setelah
lebih dari satu jam menunggu di tempat lain dan tidak ada telpon dari
UGD, penulis kembali antri di UGD dan akhirnya bisa bertemu dokter meski
tidak mendapat bed. Jadi dokter melakukan anamnesis dan
pemeriksaan di sofa.
Biaya konsultasi senilai lebih dari 3 juta rupiah,
ditambah biaya periksa darah dan urine. Ketika penulis minta pemeriksaan
USG, dokter menyarankan untuk USG di laboratorium swasta supaya lebih
cepat. Jadilah penulis kembali ke dokter umum dan minta rujukan untuk
periksa USG. Benarkah lebih cepat? Kembali penulis bikin janji lewat
resepsionis di tiga laboratorium yang berbeda. Alhamdulillah biaya USG
cukup “murah”, sepertiga hingga setengah dari biaya konsultasi dokter
UGD. Sudah? Eits, belum happy
ending. Jadwal terdekat untuk USG adalah 3 minggu kemudian dan setelah
periksa USG harus kembali ke dokter umum untuk konsultasi hasil USG.
Total waktu yang diperlukan untuk mendiagnosis keguguran bisa lebih dari
sebulan.
Bandingkan dengan pengalaman penulis ketika hamil putri pertama (tahun 2007), di Indonesia. Dengan keluhan yang sama, abortus imminens,
hanya perlu waktu 1 jam untuk bertemu dokter spesialis, periksa USG
dan mendapat obat; semuanya dikerjakan di satu tempat dengan biaya
kurang dari 100 ribu rupiah. Jadi, masih mau ngeluh kalo antri dokter? Semoga tidak yaa…
Source:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar