Halaman Muka

Minggu, 25 Agustus 2013

Di Indonesia, Pelayanan Kesehatan Semudah di Surga

by Tri Susilawati

Source : Shutterstock.com
Banyak pasien yang mengeluh ketika antri di ruang praktek dokter, apalagi dokter spesialis. Pernahkah pasien berpikir, bahwa pasien hanya perlu MENUNGGU beberapa menit atau beberapa jam, sementara dokter BEKERJA berjam-jam melayani pasien petama hingga habis, tak jarang sampai dini hari baru bisa beristirahat. Padahal di negara lain, antri di tempat praktek dokter adalah hal yang termudah. 

Pengalaman penulis di Australia, sebelum bertemu dokter di tempat prakteknya, pasien harus janjian dulu lewat resepsionis. Terkadang dokternya sudah “fully booked” dan pasien harus menunggu hingga keesokan harinya. Mau masuk UGD langsung supaya lebih cepat mendapat pertolongan? Tunggu dulu. Jika datang ke UGD dengan penyakit ringan, bisa jadi menginap di ruang tunggu dan baru bertemu dokter UGD hari berikutnya. Belum lagi biaya konsultasi dokter UGD yang 5 kali lipat biaya konsultasi dokter umum. Mau ke spesialis? Harus dapat rujukan dari dokter umum. Pun, tidak bisa jadi pasien abadi di praktek spesialis. Setelah kebutuhan spesialistiknya hilang, dokter spesialis akan mengembalikan ke dokter umum.

Tapi kan banyak pasien miskin di Indonesia? Oh, jangan kuatir. Sudah dipikirkan oleh para elite politik. Istilah “pengobatan gratis” tak bosan-bosannya menjadi slogan kampanye yang memikat. Justru penulis lebih kuatir pada dokter dan tenaga kesehatan lain. Selain mendapat kompensasi yang tak sebanding dengan risiko, mereka menjadi “miskin waktu”. Beban kerja dan tanggung jawab moral menjadikan mereka kekurangan waktu untuk keluarga dan untuk diri sendiri. 

Ketika budaya “one stop shopping” menyentuh praktek dokter, praktek bersama menjadi trend di setiap daerah di Indonesia. Kolaborasi beberapa dokter spesialis lengkap dengan laboratorium, radiologi dan apotik di satu tempat menjadikan pelayanan kesehatan lebih cepat, mudah dan nyaman bagi pasien. 

Pengalaman menarik penulis dapatkan ketika hamil putri kedua (tahun 2013), di Australia. Dugaan adanya keguguran (abortus imminens) membuat dokter umum merujuk penulis ke UGD rumah sakit terdekat. Saking lamanya menunggu dokter UGD, perawat memperbolehkan penulis pergi ke tempat lain dan nanti akan dihubungi ketika dokter tersedia. Setelah lebih dari satu jam menunggu di tempat lain dan tidak ada telpon dari UGD, penulis kembali antri di UGD dan akhirnya bisa bertemu dokter meski tidak mendapat bed. Jadi dokter melakukan anamnesis dan pemeriksaan di sofa. 

Biaya konsultasi senilai lebih dari 3 juta rupiah, ditambah biaya periksa darah dan urine. Ketika penulis minta pemeriksaan USG, dokter menyarankan untuk USG di laboratorium swasta supaya lebih cepat. Jadilah penulis kembali ke dokter umum dan minta rujukan untuk periksa USG. Benarkah lebih cepat? Kembali penulis bikin janji lewat resepsionis di tiga laboratorium yang berbeda. Alhamdulillah biaya USG cukup “murah”, sepertiga hingga setengah dari biaya konsultasi dokter UGD. Sudah? Eits, belum happy ending. Jadwal terdekat untuk USG adalah 3 minggu kemudian dan setelah periksa USG harus kembali ke dokter umum untuk konsultasi hasil USG. Total waktu yang diperlukan untuk mendiagnosis keguguran bisa lebih dari sebulan. 

Bandingkan dengan pengalaman penulis ketika hamil putri pertama (tahun 2007), di Indonesia. Dengan keluhan yang sama, abortus imminens, hanya perlu waktu 1 jam untuk bertemu dokter spesialis, periksa USG dan mendapat obat; semuanya dikerjakan di satu tempat dengan biaya kurang dari 100 ribu rupiah.  Jadi, masih mau ngeluh kalo antri dokter? Semoga tidak yaa…

Source:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...