Catatan Ringan Taufikurrahman
Source: sidomi.com |
Mungkin banyak di antara Anda yang gemar ber-"Selfie" ria. Ketika Anda sedang merasa "good mood" untuk narsis berfoto diri, namun tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong untuk memotret Anda, maka Anda bisa memotret diri Anda sendiri, dengan kamera handphone, webcam, ataupun piranti digital lainnya, lalu diposting di social media. Itulah yang saat ini sedang "ngetrend" dengan sebutan "Selfie".
Konon sebenarnya Selfie bukan fenomena baru. Menurut tulisan Ryan Grenoble di Huffington Post, dan juga catatan Jonathan Symcox di situs Mirror, "Selfie" pertama di dunia kemungkinan adalah potret diri Robert Cornelius pada tahun 1839. Namun trend Selfie ini mendadak sangat mewabah dan fenomenal sepanjang tahun tahun lalu, sehingga bahkan kata "Selfie" disebut sebagai "Word of the Year 2013" oleh Oxford English Dictionary.
Begitu ramai orang ber-Selfie ria di sosial media, mulai dari selebriti papan atas sampai orang biasa yang baru sekedar bermimpi menjadi selebriti. Bahkan jagat pemberitaan pernah "geger" ketika Obama tertangkap kamera sedang ber-Selfie ria bersama rekan sejawatnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning Schmidt, ketika tengah menghadiri prosesi duka cita wafatnya mendiang Nelson Mandela.
"Selfie" bisa bermacam-macam jenis dan kadarnya. Ada Selfie kelas ringan, ada pula Selfie kelas berat dan bahkan cenderung maniak. Dari mulai yang biasa-biasa saja sampai yang berpotensi membahayakan diri. Dari mulai sekedar berpose diri sambil tersenyum, hingga memasang wajah aneh dengan bibir dimonyongkan alias "duck-face". Dari mulai berpose sendirian sampai berpose dengan teman atau bahkan nekat ber-Selfie ria bersama selingkuhan. :)
Dalam kadar "ringan", sebenarnya mungkin Selfie tak akan menimbulkan masalah. Namun bisa berpotensi sebaliknya jika terlalu berlebihan. Menurut sebuah riset di Inggris yang dilakukan oleh Dr. David Houghton, terlalu banyak mempublikasikan foto diri justru dapat berpotensi merusak hubungan interpersonal dan membuat seseorang cenderung tak disukai.
Jika kita cermati, fenomena Selfie ini secara substansi dapat ditemukan pula dalam "Leadership Style", gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin Anda pernah melihat seorang pimpinan pada sebuah perusahaan atau lembaga, yang "gemar" bercerita dan mempublikasikan "peran penting" dirinya sendiri dalam lembaga atau perusahaan yang dipimpinnya. Sehingga seolah-olah, lembaga atau perusahaan itu tak akan maju, atau bahkan tak akan pernah ada kalau bukan "karena dirinya". Dia gemar "memotret diri" dan men-show case dirinya sendiri di berbagai forum dan media sebagai orang "yang paling berjasa", sampai seolah-olah melupakan peran dan kontribusi rekan-rekannya yang lain. Istilah singkatnya, "memonopoli kredit". Jika memang benar demikian kenyataannya, mungkin bisa saja dimaklumi. Namun celakanya, dalam banyak kasus, sebenarnya tidak demikian, karena pada hakikatnya sangat jarang orang yang bisa bekerja sendirian tanpa bantuan orang lain.
"Selfie Leadership Style", sebenarnya mungkin hanya merupakan gejala narsisme yang muncul secara alamiah dari karakter seorang pemimpin, namun jika terlalu berlebihan, bukan hanya bisa berdampak buruk pada personifikasi sang pemimpin narsis di mata publik, tapi lebih dari itu bisa berdampak pada perpecahan team manajemen pada sebuah lembaga ataupun perusahaan. Yang lebih gawat lagi, jika ternyata si pemimpin narsis ala Selfie ini sebenarnya hanyalah salah satu dari beberapa pimpinan secara kolektif, dan ternyata tak besar perannya. Jajaran pimpinan lainnya bisa merasa "gerah" dan akhirnya menimbulkan perpecahan dalam jajaran pimpinan kolektif.
Dalam skala massive secara organisasional, bahkan bisa menimbulkan demoralisasi seluruh pegawai, yang merasa kurang diakui dan mendapatkan kredit yang semestinya akibat dimonopoli oleh sang pimpinan. Muncul persepsi di kalangan pegawai, bahwa peran dan kontribusi mereka seolah tidak diakui dan tidak diapresiasi secara layak oleh sang pimpinan.
Seorang pemimpin yang baik seyogyanya pandai mengapresiasi kinerja team atau pegawainya, karena pada dasarnya dengan memberikan apresiasi yang tulus dan memadai, justru seseorang akan mendapatkan berkah support yang optimal dari potensi yang dimiliki orang lain yang merasa "respek" kepadanya. "By appreciation, we make excellence in others our own property", kata Voltaire dalam kalimat yang lebih atraktif.
Jika belum percaya akan "dampak" apresiasi yang tulus, cobalah mulai besok pagi, Anda kurangi "gaya kepemimpinan Selfie" Anda dan mulai tingkatkan frekuensi apresiasi yang tulus kepada para rekan sejawat dan staff Anda. Jikapun Anda belum memperoleh kesempatan menjadi pimpinan di kantor, cobalah mulai berlatih untuk memberikan apresiasi yang tulus pada orang-orang di sekitar yang mendukung kegiatan Anda sehari-hari, seperti asisten rumah tangga, sopir, sekuriti, office boy, dan sebagainya. Caranya? Tak perlu selalu berbentuk hadiah, materi, atau uang. Sebuah ucapan terima kasih pun, asalkan disampaikan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, merupakan bentuk apresiasi yang cukup
Source: Taufikurrahman
Artikel lain yang terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar