Jika Anda penggemar serial televisi “HEROES”, yang pernah ditayangkan di NBC dan sempat sangat populer di kalangan pecinta film bergenre sains-fiksi-aksi beberapa tahun lalu, Anda mungkin masih ingat dengan tagline-nya yang amat terkenal dan unik, yaitu “Save the Cheerleader, Save the World.” Ketika pertama kali tayang di Indonesia, sebelum mengetahui jalan ceritanya, saya sempat heran dengan maksud tagline tersebut. Lha, apa hubungannya antara “Cheerleader” dengan para “Pahlawan” (Heroes)? Jaka Sembung pakai manik-manik, gak nyambung tapi unik. Setelah menonton, baru saya tahu, bahwa dalam film tersebut, si Cheerleader justru menjadi salah satu tokoh sentral di antara para tokoh “Pahlawan” lainnya.
Saya yakin Anda mafhum, bahwa dalam setiap pertandingan olahraga, peran para pendukung, baik supporter, cheerleaders, maupun fans, sangatlah penting. Tanpa penonton, pertandingan sepakbola akan terasa hampa dan aneh. Coba Anda bayangkan pertandingan El-Clasico antara Real Madrid vs Barcelona tanpa penonton. Atau pertandingan derby Manchester United vs Manchester City zonder penonton. Rasanya akan aneh, sepi, dan hampa, bukan? Suasananya akan lebih mirip latihan daripada pertandingan bola beneran.
Para “Pahlawan” atau Bintang sepakbola dengan skill luar biasa seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Robin van Persie mungkin akan tetap dapat bermain bola dengan baik meski tanpa penonton, namun belum tentu akan bermain sama luar biasanya dengan jika mereka disupport oleh riuh rendahnya penonton dan para supporter fanatiknya di stadion. Karena energi penonton-lah yang membuat mereka mampu mengeksploitasi segenap kejeniusan dan kedashyatan bakat mereka bermain bola.
Ya, peran para pendukung, penyemangat, dan penggembira, baik berupa fans, penonton, supporter, tifosi, cheerleaders, pengikut, atau apapun namanya sangat penting untuk membangkitkan semangat juang para “bintang”, “pahlawan”, ataupun “pemimpin”. Bahkan seorang pelatih sepakbola yang angkuh dan “super-pede” seperti “The Special One” Jose Mourinho pun mengakui betapa dahsyatnya peran supporter, bahwa “passion” setiap supporter dan media sama pentingnya dengan para pemain, untuk membuat permainan sepakbola menjadi penuh gairah.
“…I think because of the passion of every English player and every English supporter, and every English journalist for the game, most of the game is played with passion…”, demikian kata Jose Mourinho ketika berbicara mengenai gegap-gempitanya sepakbola Inggris.
Jika Anda kebetulan rajin menonton pertandingan El-Clasico antara Real Madrid melawan Barcelona, Anda akan dibuat kagum dengan gairah supporter dalam mendukung team kesayangannya. Misalnya, pada sebuah pertandingan El-Clasico, dalam situasi tertinggal tiga gol hasil kerja brilian Ronaldo dan Varane yang sempat membuat Messi dan kawan-kawannya tertunduk lesu dan mulai frustrasi, supporter Barcelona di Nou Camp masih tetap bergelora, bersorak riuh rendah penuh semangat mendukung team kesayangannya.
Kekalahan tidak membuat para supporter itu lantas “berhenti” memberikan dukungan dan meniupkan semangat pada team pujaannya. Dukungan tersebut akhirnya mampu melecut para pemain Barca untuk terus berjuang sampai akhir, hingga akhirnya mampu melesakkan satu gol ke gawang Madrid. Meski hanya satu gol, cukuplah membuktikan perjuangan hingga tetes keringat penghabisan, sebuah balasan yang layak atas dukungan sejati dari para supporter kepada mereka.
Pun demikian jika Anda gemar menyaksikan pertandingan NBA. Meski team kesayangannya kalah ataupun tertinggal angka, para supporter dan cheerleaders tetap bersorak-sorai aktif memberikan semangat pada team kesayangannya. Itulah semangat supporter dan cheerleaders sejati. Mereka adalah sumber semangat dan motivasi. Ketika tenaga mulai habis, keringat hampir terkuras, dukungan supporter dan cheerleaders menjadi sumber energi ekstra yang sangat efektif untuk memenangkan laga.
Dalam setiap team, organisasi, institusi, ataupun perusahaan, peran Pemimpin (Leader) memang sangat penting. Namun jangan dilupakan pula peran para pendukung. Jika Anda kebetulan menjadi seorang pemimpin ataupun pernah menjadi pemimpin, maka Anda pasti merasakan, betapa Anda tak bisa bekerja sendirian.
Sehebat apapun Anda, tak mungkin Anda dapat memimpin dengan baik tanpa adanya kerja sama dan dukungan dari anak buah, anggota team, atau staff Anda. Bahkan ketika Anda sedemikian sibuknya sebagai boss, hal-hal yang sangat ringan seperti mengingat jadwal meeting atau merapikan file di meja Anda pun mungkin tak dapat Anda lakukan tanpa bantuan sekretaris atau staff Anda. Masihkah Anda berani mengabaikan peran staff Anda?
Ketika saya berkesempatan berceramah di depan mahasiswa sebuah perguruan tinggi, saya pernah mendapatkan sebuah pertanyaan kritis dari salah seorang mahasiwa. Pertanyaannya kira-kira demikian, “Mengapa pengumuman program Beasiswa ataupun Lowongan Kerja pada umumnya mencantumkan syarat: mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership) yang baik, tapi tidak mencantumkan syarat memiliki jiwa kepengikutan yang baik, padahal dalam berorganisasi ataupun bermasyarakat, tidak hanya diperlukan pemimpin yang baik, tapi juga anggota yang baik…??”
Sebuah pertanyaan “unik” yang membuat saya tercenung sejenak, sebelum akhirnya saya berusaha sebijak mungkin menjelaskan, bahwa kriteria “Leadership” tersebut seharusnya tak lantas menisbikan kemampuan untuk menjadi anak buah yang baik. Seseorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik, seharusnya secara otomatis berbakat menjadi anggota team yang baik pula. Karena seorang pemimpin sejati, seorang “True Leader”, sesungguhnya harus memiliki kualitas tinggi sebagai seorang member yang baik pula, tak hanya berbakat memimpin saja. Ketika seorang pemimpin tidak dapat menjadi member yang baik, atau tidak pernah menjadi member yang baik, maka dia berpotensi menjadi seorang pemimpin yang tidak memiliki “empati”, tidak respek, dan tidak mampu “mendengar”, pemimpin yang tidak bijak dalam memahami permasalahan yang dihadapi anggota team yang dipimpinnya.
Pemimpin yang tidak mampu memahami, respek, mendengarkan, dan menghargai jasa-jasa staff, anggota team, pendukung, atau masyarakat yang dipimpinnya adalah pemimpin “palsu”, yang sesungguhnya belum layak menjadi pemimpin. Mungkin ia hanyalah pemimpin karbitan, atau pemimpin instan, yang tak pernah merasakan pahit getirnya menjadi anggota yang baik, sebelum menduduki kursi empuk pimpinan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu berempati, memahami, dan menghargai orang-orang yang dipimpinnya. Dan seorang pemimpin yang demikian biasanya pernah menjadi “anak buah yang baik”. Maka jika saat ini Anda merasa masih “sekedar” menjadi supporter, cheerleaders, penggembira, atau masih berposisi sebagai anak buah, sebagai pelayan, belum menjadi pemimpin, atau belum menjadi “bintang”, janganlah berkecil hati atau rendah diri.
Jadilah anak buah yang baik, jadilah supporter yang terus menyemangati, atau jadilah “pelayan” yang baik bagi pemimpin Anda, sesuai peran, tugas, dan tanggung jawab yang diamanahkan kepada Anda, dengan tetap menjaga integritas dan hati nurani Anda. Maka pada saatnya nanti, Anda akan dapat menjadi pemimpin yang baik. Atau setidaknya, Anda dapat menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga atau lingkungan Anda.
Ingatlah kata-kata bijak Plato, bahwa: “He who is not a good servant will not be a good master”.
Source: taufikscorner.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar