By Hendrik Ronald
iras.gov.sg |
Dalam dunia service dan bisnis, kita sebaiknya mendengarkan. Kita mendengarkan untuk didengarkan. Bagaimana kita bisa melayani konsumen dengan baik kalau kita tidak pernah mendengarkan? Bagaimana mau menghasilkan Excellent Product kalau tidak mau mendengarkan? Kalau seandainya ada pilihan, “Mana yang lebih baik, enak di customer atau enak di kita?”. Sebagian pilih ‘enak di kita’, sebagian besar pilih ‘enak di konsumen’. Namun saran saya, pilih yang enak dua-duanya. Namun, kalau anda harus memilih, pilih yang lebih enak di konsumen. Mereka yang membayar gaji kita (sebaiknya kita sadar).
Sering kita berusaha memborbardir konsumen dengan iklan kita. Berharap saat kita beriklan konsumen akan berlomba-lomba membeli. Jarang dari kita yang memberikan nilai tambah kepada calon konsumen kita ini. Kita jual-jual-jual. Kita berharap customer terpengaruh. Kita minta didengar-didengar-didengar. Bisakah kita didengar dengan cara ini? Di sekolah kita diajarkan cara
ngomong, cara berpidato. Pernahkah kita diajarkan cara mendengar?
Mungkin yang terjadi adalah kita ‘dipaksa’ mendengar.
Seorang ahli negosiasi dunia, William Uri, Ph.D, mengatakan bahwa sebenarnya kita mendengarkan untuk didengar. Seburuk apapun ide seseorang, ide tersebut ada benarnya, walaupun hanya dari sudut pandang dia. Kita harus mengakui ide tersebut benar. Anggaplah seorang client datang ke meja customer service lalu complain dan mengamuk seperti ini, “Barang
anda keterlaluan. Anda menjual barang palsu yah? Barang apa ini? Kamu
mau menipu saya yah? Baru dipakai seminggu sudah rusak“.
Anda punya 2 alternatif. Pertama, anda menjawab seperti ini, “Lho,
bapak menuduh kami penipu? Enak saja! Bapak kali yang makenya
sembarangan. Sudah dibaca belum petunjuknya? Jangan SEMBARANGAN YAH!!!“.
Kurang lebih anda tau apa yang akan terjadi. Bersiaplah menunduk untuk
menghindari terbangnya barang-barang di sekitar kantor.
Alternatif kedua, anda bisa menjawab, “Okay pak, ditinggal saja dulu barangnya. Nanti kami check dan bapak akan kami kabari lagi“.
Konsumen mungkin setuju (setelah perdebatan sengit) dan meninggalkan
barangnya dalam keadaan kesal. Cobalah hindari ini. Kesan buruk yang
dibawa saat meninggalkan kantor bisa menjadi satu-satunya kesan yang tersisa tentang kantor anda.
Alternatif ketiga, anda bisa menjawab seperti ini, “Betul pak. Bapak betul. Barangnya dipakai seminggu sudah rusak yah, pak…. bapak merasa bahwa ini keterlaluan yah, pak“. Mungkin anda heran, kenapa kok malah setuju sih ?!?
Karena tetap saja sekonyol apapun ide customer, pasti ada benarnya, walaupun hanya dari sudut pandang dia. Dengan mengulangi kata-kata customer & mengakui perasaannya, customer akan merasa didengarkan & dimengerti. Dan itu adalah salah satu kebutuhan dasar manusia!
Setelah mengulangi kata-kata customer seperti di atas, baru kita bisa bertanya, “Boleh cerita, pak? Bagaimana ceritanya barang ini baru dipakai seminggu sudah rusak?“. Ketika client selesai bercerita, ulangi lagi kata-katanya atau ceritanya. Dia akan merasa didengarkan & dimengerti (sengaja saya ulangi berkali-kali supaya ingat, karena penting). Setelah dia merasa dimengerti, barulah client akan mulai mendengarkan apapun solusi yang berusaha anda sampaikan. Barulah pemberian solusi bisa berjalan dengan baik. Siapapun kita, entah seorang suami, seorang istri, seorang karyawan, seorang bos; kita perlu didengarkan. Betul apa betul?
Source:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar