Halaman Muka

Minggu, 28 Juli 2013

Bai Fang Li : Sang Tukang Becak Penyantun Anak Kaum Papa

Saya langsung menulis namanya di ponsel jadul yang saya miliki agar tidak lupa. Bai Fang Li, seuntai nama, saya mengenal sosok renta ini ketika melihat kisahnya di on the spot (Trans7) belum lama ini. Penasaran, saya lalu menggali beritanya di google. Hmm..., ternyata saya telat. Kisah Bai Fang Li  telah lama diperbincangkan.

Selintas, saya coba membandingkan dengan para dermawan abad ini semisal Oprah Winfrie atau Bill Gates (seturut beberapa tulisan yang saya jumpai), namun saya keliru. Sangat tak fair membandingkan kisah mereka, dia Bai Fang Li sosok yang berbeda, kisahnya terlampau unik....

Hidupnya habis di atas sadel becak. Ia mengayuh dan terus mengayuh, membawa pelanggan kemana saja mereka mau, meski ia hanya dibayar sekedar. Tubuhnya kecil, sangat kecil untuk ukuran becaknya atau pelanggan yang memakai jasanya, namun semangatnya sungguh gagah perkasa.

Sejak jam 6 pagi, ia mulai melanglang di jalanan dan berakhir setelah jam 8 malam. Pribadinya ramah dengan senyum tak pernah lekang dari wajah keriputnya. Menurut orang-orang yang mengenalnya, ia tak pernah mematok harga, berapapun yang dibayar ikhlas ia terima. Tak mengherankan jika banyak pelanggan yang membayar lebih, mungkin karena tak tega, melihat tubuh ringkih bersama nafasnya yang ngos-ngosan terus mengayuh becak tua, mengalahkan terik siang dan jalanan mendaki.

Bai Fang Li namanya, tinggal dalam gubuk reot yang nyaris rubuh di sebuah daerah kumuh, bersama kebanyakan tukang becak, penjual asongan dan pemulung. Gubuk yang dihuni bukan miliknya, ia menyewanya secara harian. Ada sebuah tikar tua rusak dipojok-pojoknya, sebuah kardus berisi beberapa baju tua, selimut tipis yang telah bertambal-tambal, juga sebuah piring seng comel, tempat minum dari kaleng yang semuanya mungkin diambilnya dari tempat sampah. Pada pojok ruangan tergantung lampu templok minyak tanah untuk menerangi kegelapan gubuk bila malam menjelang.

Orang mengenalnya Bai Fang Li seorang pendatang, yang tinggal sendirian. Tiada yang tahu siapa sanak dan saudaranya. Namun, Bai Fang Li tak pernah sepi, banyak yang orang menyukainya.

Sebetulnya penghasilannya cukup untuk mendapatkan makan dan minuman yang layak, membeli baju yang cukup bagus menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang, serta sepatu bututnya yang robek. Namun ia tidak pernah melakukannya, semua uang penghasilannya ia sumbangkan pada sebuah yayasan sederhana yang biasa mengurusi sekitar 300 anak yatim piatu miskin di Tianjin, China. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah.

Tersentuh...
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Suatu ketika, hatinya sangat tersentuh, ia baru saja beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Bai Fang Li, terperangah melihat seorang anak lelaki kurus berusia 6 tahun yang menawarkan jasa mengangkat barang milik seorang ibu yang baru saja berbelanja. Tubuh anak kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat, namun tiada menyerah ia selesaikan tugasnya. Kegembiraan terang terpancar saat menyambut upah beberapa uang recehan dari ibu itu dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Sang Pencipta untuk rejeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja dan menerima upah uang recehan. Mengikuti, ia mengamati anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan ketika menemukan sepotong roti kecil yang kotor, sekenanya membersihkan lalu memasukkan kemulut, menikmatinya seolah itu roti dari Surga.

Hati Bai Fang Li tercekat, ia hampiri anak lelaki itu lalu membagikan makanannya. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu…, ayah ibu saya pemulung…
Tapi sejak sebulan lalu, setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.

Ia lalu membujuk Wang Fing nama anak lelaki itu untuk mengantarnya pada ke dua adiknya. Hatinya merintih, melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 4 dan 5 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping. Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu peduli dengan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus keluarga mereka saja sudah sangat kesulitan.

Bai Fang Li lalu memutuskan membawa ke tiga anak itu ke yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu, ia katakan bahwa ia sendiri yang setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Seluruh uang penghasilannya, setelah dipotong sewa gubuk dan membeli 2potong kue kismis untuk makan siangnya. Juga setelah ia membeli sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya uang itu ia sumbangkan ke Yayasan untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa peduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila ditanya orang-orang, mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa peduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li mengayuh becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.

Tak Menuntut Apapun...
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak RMB 500 atau setara dengan Rp 675.000 yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan sendu.  Semua guru di sekolah itu menangis.

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun (thn 2005), ia meninggal karena sakit. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (setara 470  juta rupiah) yang dia berikan kepada yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin

Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan.

Semoga cerita inspirasi di atas dapat menyemangati Kita semua bahwa : "......hidup itu hanya satu kali dan tidak perlu kaya untuk menolong sesama...." Dan sebagai penutup, mari Kita simak beberapa clip berikut :




Source:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...